18. "Rafli pasti dateng, Ma."

2.7K 201 9
                                    

“Dalam pernikahan hal-hal seperti ini pasti terjadi, Bi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Dalam pernikahan hal-hal seperti ini pasti terjadi, Bi. Kamu dan Rafli nggak akan bisa terus menghindarinya. Hadapi. Masalahmu dan Rafli nggak akan kelar kalau kalian nggak menyelesaikannya. Datang atau mungkin kabur ke sini juga bukan hal yang benar. Mama nggak masalah kalau kamu mau menenangkan diri sementara waktu, tapi kalau mau tinggal dan terus-terusan menghindar, Mama kurang setuju. Kalian sudah sama-sama dewasa, selesaikan semuanya baik-baik.”

Kalimat Elisa dua hari lalu sejak kedatangannya masih saja membayangi benak Bia. Setengah hari perempuan beriris segelap malam itu memandangi layar ponsel. Ada pesan dari Rafli dan tingkah konyolnya di sosial media. Namun, sampai detik itu Rafli tidak kunjung datang menemuinya.

Bia berharap Honda Jazz Rafli akan muncul dari balik gerbang, bersamaan dengan hadirnya si empu. Sosok tinggi, gagah, atletis, dan pemilik kulit eksotis, pujaan Bia. Ya, Bia akan selalu mengagumi dan memuja Rafli-nya.

“Tapi, sekarang aku kayak lihat kamu yang lain ....” Bia menggumam, masih membiarkan matanya menatap tampilan ponsel. Sepi.

Kedua netra bulat itu beralih ke arah halaman depan. Lewat kaca jendela terlihat terik mentari mulai hilang di cakrawala. Dedaunan bergerak pelan disapu angin sore sepoi-sepoi. Bia tertegun lagi. Pikirannya dipenuhi Rafli, kebersamaan mereka, hingga pertengkaran hebat beberapa waktu lalu.

“Kamu menyesal, Raf?” Kepalanya terus menghadirkan adegan perdebatan mereka.

Diam-diam dalam hati paling dalam, Bia juga mengaku bersalah. Mungkinkah Rafli juga sakit hati dengan perkataannya? Kala itu Bia sangat marah sampai tidak bisa menahan kalimat yang keluar dari bibir. Berhari-hari berlalu, Bia tahu mamanya makin cemas. Hal yang paling Bia takutkan pun terjadi. Kemarahan Elisa dan kalimat yang begitu menyakitkan, bahkan hanya untuk didengar saja.

“Terus apa keputusanmu?” tanya Elisa sesekali waktu saat Bia banyak termenung di depan jendela.

Hari itu hujan mendadak turun. Bukan hanya membasahi beberapa sudut bumi, tetapi hati Bia yang pedih makin terasa nyeri karenanya. Ingatan tentang Rafli. Masa-masa ketika mereka merajut kasih. Semua sangat membahagiakan. Apalagi saat baru-baru menikah. Akan tetapi, beberapa bulan berikutnya mereka makin banyak berdebat. Rintangan terbesar muncul saat mereka justru tengah menyusun tugas akhir.

“Aku salah, Ma. Aku salah.” Sore itu Bia terisak di hadapan Elisa. Tadinya tidak ingin menangis, tetapi kenyataan berkata lain. Kedua netra bening itu jelas tidak dapat menampung air mata lagi. “Ini salahku. Dari awal salahku, Ma.”

“Bi, tenangkan dirimu.”

“Aku harusnya nggak membawa Noah bersama kami, harusnya nggak menuntut banyak hal ke Rafli, atau ....” Suara Bia bergetar, tangis masih setia membasahi pipi mulusnya. “Aku harusnya nggak menikah.”

Sungguh ia tidak dapat mengeluarkan suara lagi. Seolah-olah semua kalimat yang tersusun dalam benaknya raib begitu saja. Sadar bahwa mamanya juga kehabisan kata-kata, isak tangis Bia makin kencang. Ia menunduk dalam-dalam mengulas kembali kebersamaannya dengan Rafli. Sekarang apa? Rafli bahkan tidak datang menjemputnya. Apa Rafli benar menyesal? Apa benar masa depannya terhalang karena menikah? Banyak pertanyaan yang bersarang dalam tempurung kepala Bia.

Kami Pasutri√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang