Epilog.

5.6K 223 9
                                    

Halooo~ aku kembali membawa epilog buat kisah Bia dan Rafli. Sekali lagi aku ngucapin makasih buat yang udah baca hhey, seneng banget karena ga nyangka viewnya bisa sampe segink😁 thank u so much~

Selamat membaca~


Kabar baik yang melengkapi kehidupan pernikahan Bia dan Rafli adalah masa di mana Andra datang memberi kabar gembira. Perusahaan tempat Andra bekerja sedang membuka lowongan pekerjaan dan Rafli langsung ditawari. Meski agak berat untuk mengundurkan diri dari kafe karena sudah terlalu nyaman, Rafli tetap membuat keputusan. Biar bagaimana pun, ia butuh pekerjaaan lain untuk mulai memperbaiki perekonomiannya dengan Bia.

Sudah dua minggu berjalan sejak Rafli berhasil masuk perusahaan. Tentu setelah melewati serangkaian wawancara yang pada akhirnya membuat dirinya lolos. Ia bergabung dengan Andra di tim pemasaran sebuah perusahaan tekstil.

“Bi, ayo bangun! Kita sarapan.”

Subuh pagi Rafli sudah rapi. Aroma parfum menguar bersatu dengan aroma lezat panekuk buatannya. Hari itu ia membuat sarapan karena Bia beberapa hari ke belakang selalu marah-marah tidak jelas. Rafli bahkan tidak tahu kesalahannya apa. Begitu sulit baginya untuk menganalisis sikap Bia yang mendadak bikin keki.

“Bibi, bentar lagi aku berangkat, nih.
Ayo, sarapan bareng dulu!” Rafli membenarkan letak dasi biru gelapnya, melirik jarum jam di pergelangan tangan. Lantas berdecak karena tidak ada jawaban dari sang istri. “Sayang, ayo bang—”

“Raf?”

Pintu terbuka berbarengan dengan wajah Bia yang tanpa ekspresi dan sedikit pucat.

“Kamu sakit?” Rafli meraba kening Bia. “Ah, nggak demam.”

“A-anu ….” Bia menggigit sisi dalam bibirnya. Kedua netra itu tidak lepas memandang Rafli lamat-lamat. Rafli menemukan setitik keraguan dalam sorot hitam itu. “Tapi, kamu janji jangan marah, ya?”

“Kita ngomong di bawah aja sambil sarapan.”

Bia langsung menggeleng dan berujar, “Di sini aja.”

“Ya, udah cepet ngomong karena bentar lagi harus ke kantor.”

Dari sorot mata Bia, Rafli menemukan berbagai macam ekspresi. Entah keraguan, kegembiraan yang tertahan, dan ketakutan. Detik demi detik tergilas, tetapi Bia tidak kunjung berucap. Bikin Rafli menahan sabar agar tidak marah-marah.

“Kamu jadi ngomong atau nggak, Sayang?’'

“Tunggu sebentar!” Bia bergerak merogoh sesuatu dalam saku cardigan berwarna moka yang menutupi tubuh. “Please, kamu jangan kaget. Oke?”

Rafli hanya mengangguk menahan rasa greget dalam dirinya.


Jemari sang istri terulur memperlihatkan sebuah benda yang tidak asing. Untuk sesaat Rafli memandang wajah Bia yang diselimuti ketakutan. Dengan ragu Rafli meraih benda tersebut. Dia tidak mengerti apa pun, tetapi jelas pikirannya mampu mengetahui fungsi alat tersebut. Kedua matanya mengamati apa yang tertera di sana, lalu memandang Bia.

“Aku hamil.”

Dua kata yang membuat jantung Rafli seperti bekerja dua kali lebih cepat. Kedua tungkai panjangnya mendadak lemas di tempat. Kaku. Rafli tidak tahu harus beraksi apa. Ada rasa bahagia menyelinap dalam dada, tetapi di sisi lain merasa tidak terima.

“Maaf. Maaf kalau kamu kecewa karena hal ini terjadi ….”

Suara lirih Bia kembali menyapa rungu. Rafli masih mematung mengamati hasil test pack yang menunjukkan bahwa istrinya positif mengandung calon bayi mereka. Ia merasakan jemarinya diraih lembut oleh Bia.

“Raf, kamu nggak marah, ‘kan? Aku bukannya nggak menghargai keputusan kamu untuk menunda dulu, tapi ini udah terjadi. Malam itu kita ….”

“Nggak ada yang salah, Bi.” Rafli memang belum siap, tetapi apa yang harus dilakukan? Bayi itu adalah darah dagingnya. “Kamu nggak salah, Sayang.” Ia memeluk Bia setelah tersenyum singkat,

“Apa kamu bahagia? Kamu akan menjadi seorang ayah. Tell me kalau kamu merasa nggak baik-baik aja karena kabar ini.”

“Ssst.” Rafli mempererat pelukannya. “Suami mana yang nggak bahagia saat tahu istrinya mengandung? Aku siap. Aku nggak akan menjadi orang tua yang jahat. Paham?”

“Bagaimana kalau kehamilanku menghancurkan semuanya? Pekerjaanmu atau mungkin pekerjaanku kelak.”

“Kita akan lebih hancur kalau dia nggak ada, Sayang.” Pelukan itu terurai setelah Rafli menarik diri sambil mengusap lembut perut istrinya yang masih rata. “Aku bahagia, Bi. Sangat.”

Really?”

“Aku sempat kaget dan sedikit kesal tadi, tapi terlepas dari hal itu, selebihnya aku merasa sangat bahagia. Kabar yang memenangkan hatiku sekarang. What a surprise! I’m gonna be a daddy!”

Yeah, Rafli berharap ke depannya bisa menjadi suami sekaligus ayah yang baik untuk keluarga kecilnya. Mau tidak mau, ia harus siap ‘babak belur’ mengurus bayi.

FIN.






Bia dan Rafli punya bayi? Hm, gimana kelanjutannya kehidupan mereka setelah kabar bahagia dari Bia, ya? Akankah keputusan Rafli tidak berubah untuk mempertahankan kehamilan Bia atau sebaliknya?

Temui mereka di KaryaKarsa, ya^^

Sesuai dengan apa yang aku bilang sebelumnya, part extra chapter Bia dan Rafli sudah tayang, lho, di KaryaKarsa hari ini.

Sila berkunjung ke akun KaryaKarsa aku (onederfulonly), dukung Kami Pasutri biar makin semangat berkarya🤗

Terima kasih buat teman-teman yang sudah membaca, sampai ketemu di next project, ya🥰😍

Kami Pasutri√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang