Jemari panjang dari tangan besar tampak menyelinap di antara celah jari-jari kecil. Genggaman kian mengerat memunculkan tatapan dalam dari iris hitam yang dibingkai bulu mata lentik. Seulas senyum kontan terlihat menghadirkan lesung pipi yang dalam. Si pengendara terlampau gemas sampai ingin mencongkelnya. Manis. Senyum Bia adalah yang terindah dalam dunianya. Rafli melirik Bia setelah fokus sejenak pada jalanan yang padat merayap.
Sejak Inggit memberi kabar akan pulang ke Indonesia, hari yang ditunggu pun tiba. Meski berat bagi Bia untuk menyerahkan Noah. Berkali-kali membuatnya sadar bahwa yang berhak atas Noah adalah Inggit dan James.
“Aku bukan nggak mau menyerahkan Noah ke orang tuanya, tapi aku mikir mulai nanti malam dan seterusnya kita bakal tidur tanpa Noah. Nggak ada suara tawa dan tangis dia. Aku pasti bakal kangen.”
Tangan Rafli masih setia menggenggam jemari sang istri. Sementara tangan kanan tetap fokus mengendalikan lingkar kemudi. Sesekali sebelum menoleh ke jalan, ia melirik Bia yang setia menatap sang bayi. Noah tertidur pulas saat kini mereka menempuh perjalanan ke Bogor.
“Mau menginap di Bogor malam ini?”
“Emang boleh? Kamu kan kerja. Kalau ini jadi masalah kamu lagi di tempat kerja, mending nggak usah, Raf.”
“Nggak, Sayang. Malam ini kamu harus puas-puasin lihat Noah. Urusan Noah itu urusan James dan Mbak Inggit, setelah ini kamu harus fokus sama tugas akhir. Aku nggak mau ada yang bikin kamu terganggu dan hilang fokus. Noah nggak akan ke mana-mana, kita bisa ketemu sama dia.”
“Kalau nanti kita siap punya bayi, aku mau punya bayi cowok,” gumam Bia sambil mengelus pipi Noah yang lembut kemerahan.
“Itu masih lama, pikirkan nanti aja.”
“Apa salahnya pikirkan mulai sekarang?”
“Nggak ada salahnya, Bi. Tapi, untuk sekarang kita belum siap.” Debas napas Bia menyapa jelas telinga Rafli. Ia melirik wajah sang istri yang mendadak tertekuk. “Kamu sekarang nggak lagi minta bayi, ‘kan? Aku udah bilang sebelumnya, lihat kondisi kita sekarang. Entah dari segi mental maupun ekonomi. Kita belum siap.”
“Aku paham.”
“Jangan terlalu dipikirkan. Sekarang kita harus berjuang untuk kelulusanmu, Bi. Masalah anak bisa belakangan. Emangnya kamu nggak lihat gimana repotnya kita ngurus Noah?”
“Tapi, Raf ....”
“Ayo! Kita udah sampai.”
-oOo-
Kapan terakhir kali Rafli memandang wajah bulat dengan pipi tembam yang selalu dipolesi blush on dan bibir merona merah itu? Atau tahi lalat yang bertengger manja di atas hidung? Kini Rafli mengamati dengan puas. Kakaknya tampak lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu.
“Apa kabar, Raf?” Inggit berucap riang seolah-olah selama ini tidak terjadi apa-apa. Begitu melihat Noah dan Bia keluar dari mobil, Inggit segera berlari mendekat. “Ya, ampun! Anak Mommy!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Kami Pasutri√
RomanceMenikahlah ketika sudah siap, baik secara fisik dan mental, itu adalah wejangan dari Oma Santi. Bia tidak masalah jika harus menikah dengan Rafli, sebab dia menyukai cowok itu sejak SMA. Mereka akhirnya menikah muda, dengan syarat menunda memiliki...