1. Heza

80 17 15
                                    

Hanya ada sekali keanehan seumur hidup Heza. Yaitu, saat hari pertama ia pindah ke rumah barunya.

Saat terbangun keesokan harinya, Heza masih mengingat semua hal dengan detail. "Mimpi" keluarga dengan anak perempuan kecil yang menangis, coretan-coretan yang bersinar dari balik cat di tembok kamarnya, juga gambar yang tersingkap dan membuatnya merasa seperti tersetrum ketika menyentuhnya. Anak perempuan itu, Si Anak Cengeng itu ... apa ia sungguhan ada?

Saat itu adalah masa-masa liburan menjelang masuk SD. Heza bertanya-tanya, apakah ia akan menemukan anak perempuan itu di sekolah barunya kelak? Ia memang tak terlalu ingat wajahnya, apalagi suaranya, toh anak itu hanya menangis.

Namun, Heza penasaran! Anak kecil itu jadi merasa yakin dengan dirinya sendiri. Ah, paling aku bisa tahu itu Si Anak Cengeng atau bukan pas papasan.

Yang jelas, setelah hari itu, Heza tak pernah mengalami keanehan lagi. Kadang, ia berpikir untuk merontokkan seluruh cat kamarnya, tetapi untuk apa? Lagipula, sekarang warnanya biru, sebelumnya putih. Ia lebih memilih biru.

"Akhirnya, kalian berangkat sekolah bareng!" Firnanda sang Ayah tampak gembira ketika hari pertama Heza SD. "Ayn, titip Heza di sekolah, ya. Nanti kalian Ayah jemput."

"Ogah, Yah. Ez hobi bikin gara-gara." Ayne bersedekap sambil merengut. "Pasti dia bakal bikin anak-anak cewek nangis saking isengnya."

Biasanya, Heza akan langsung bereaksi dengan menautkan alis dan menggembungkan pipinya, tanda kesal. Namun, demi mendengar frasa "anak-anak cewek nangis," Heza malah berpikir.

Gawat. Perkataan Ayne mencetuskan sebuah ide terlarang di benak Heza.

Siang bolong itu, Ayne terpaksa menepuk dahinya berkali-kali, menahan diri supaya tidak mencubiti adiknya. Gemas dan kesal jadi satu. Bagaimana ceritanya, tiba-tiba ia mendengar kalau adiknya, yang masih hari pertama bersekolah, membuat anak-anak perempuan di kelasnya menangis–satu per satu!

Mendengar laporan itu, Firnanda tertawa lebar, terbahak-bahak lebih tepatnya. Sementara itu, Rosa sang Bunda menatap Heza emosi meski mulutnya menyimpulkan senyum dan tawa tertahan berkali-kali.

"Kenapa kamu hobi ganggu cewek-cewek, sih? Masih kecil udah genit!" Ayne berseru gusar, tidak tahu diri bahwa dia sendiri sering bertingkah sok manis di depan remaja laki-laki. "Yah, kok malah ketawa? Marahin dia!"

"Aduh, Ayah takut nih, jangan-jangan besok Ayah diserbu para orang tua murid yang protes karena anaknya dibikin nangis?" Firnanda masih terkekeh. "Heza, kenapa kamu iseng begitu? Masa ya kamu ganggu satu-satu anak perempuan di kelasmu? Ayah enggak bisa bayangin."

Heza menatap ayahnya dengan tatapan lugu. "Aku mau cari Si Anak Cengeng," jawabnya polos.

Ayne mendelik. "Semua orang jadi cengeng kalau sama kamu, tahu!"

Heza menggeleng mantap. "Si Anak Cengeng, imajinasi ... anak perempuan yang nangis di kamarku."

Kali ini, semuanya diam mematung. Mendadak horor.

"Di kamarmu ... ada anak perempuan nangis?" Rosa mencoba memperjelas, meski suaranya kini terdengar takut-takut.

"Bukan. Bayangan. Imajinasi." Heza kekeh. "Anak perempuan, mungkin yang punya rumah sebelum kita pindah."

Tiga orang yang ada terperangah.

"Anak perempuan?" Firnanda berdeham. "Ya, pemilik rumah sebelum ini memang punya anak perempuan. Kamu tahu dia?"

"Enggak," jawab Heza langsung. "Tapi ... dia nangis."

Rosa menyerah, ia memilih ke dapur dan berkutat dengan masakan. Firnanda menatap Heza lamat-lamat, Ayne terdiam sambil memegangi kepala.

Behind Your SketchesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang