7. Rembuk

36 10 14
                                    

"Sebenarnya ... kenapa kalian dari awal mengajakku bicara?"

Heza, juga Syafa, tertegun sesaat mendengar pertanyaan itu.

"Eh, uh, itu ... soalnya, kamu yang mergokin aku ...." Heza terdiam sesaat. Ia tidak memberitahu Syafa perihal hari pertamanya di sekolah, nyungsruk begitu saja saat buru-buru masuk kelas demi mencari dompet. Dan yang jadi saksi matanya ... ya Nera ini!

"Mergokin apa? Astagfirullah." Syafa geleng-geleng kepala dengan ekspresi terkejut.

Sementara itu, Nera hanya mengangguk-angguk, seolah mafhum.

"Aku sih ajak kamu ngomong karena ... dia pernah bikin kamu nangis." Syafa langsung menodong Heza. "Pas ada aku, lagi."

Lagi-lagi, Nera hanya mengangguk. Mungkin ia ingat perkataan Syafa tempo hari. Anak ini memang punya kebiasaan buruk. Kamu boleh menghajarnya, atau aku wakilkan?

"Syafa ... kamu seperti penjaganya Heza biar enggak aneh-aneh," komentar Nera kalem.

Kalimat itu sontak membuat Syafa terbatuk, lalu ia tertawa hampir terbahak-bahak. Jelas sekali ia menahan dirinya supaya tidak kelepasan. Sementara itu, Heza berpaling sambil menggaruk tengkuknya. Tidak salah, sih ... tetapi kok aneh, ya?

"Sayangnya, Heza terlahir aneh, kamu jangan terlalu berharap," ujar Syafa, yang membuat Heza bereaksi dengan menyentak tas anak perempuan itu.

"Berharap apa?"

"Udahlah! Duluan, Nera!" Heza melangkah tegas ke pintu sambil setengah menyeret Syafa yang mengomel panjang-pendek. Udah dibantu, juga!

"Duh, jadi kamu beneran begitu, Ja," ujar Syafa begitu keduanya berjalan normal–maksudnya, tidak saling menyeret.

"Beneran begitu apanya?"

"Kamu naksir Nera."

Kali ini, giliran Heza yang terbatuk. Batuk lebay, karena sampai uohok-uohok.

"Enggak usah ngurusin bagian itu!" seru Heza gusar, tetapi wajahnya memerah.

"Dia mergokin kamu ngapain?" Syafa masih mengejar.

"Aku diving gaya bebas."

Syafa sampai menghentikan langkahnya, ternganga sambil menatap Heza dengan sebelah alis terangkat.

"Ya, gitu, dah." Heza berjalan mendahului sambil melambai. "Urus Yosi aja, sana."

"Oh ya, Hejaaa!" Syafa tiba-tiba mengejar hingga langkah mereka kembali sejajar.

"Apa lagi?"

"Nanti hari Sabtu, ketemuan sama Yosi yuk!"

****

"Akhirnya Heza mau tampil!" seru Ilyas di kelas keesokan harinya.

"Horeee!" Anak-anak satu kelas kompak bersorak.

"Kamu emang bakat pertunjukan satu orang. Mau stand up comedy, ya?" tebak Elena, setengah ngawur.

"Enggak tahu mau ngapain," keluh Heza. Ia, entah terpaksa atau dengan kesadaran diri, kini berdiri di depan kelas bersama Ilyas.

"Main parodi Eat Bulaga," ujar Ilyas.

"Wah, makhluk mana itu! Rasanya udah bertahun-tahun enggak mendengarnya." Devi memicingkan matanya. Tentu saja ia tahu acara televisi yang sempat booming pada masanya itu.

"Heza jadi MC?" tanya Riswan, rekan Elena selaku OSIS penanggung jawab kelas itu.

"Heza jadi peserta, MC-nya Evan," jawab Ilyas tenang.

Behind Your SketchesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang