2. Masa SMP

60 14 11
                                    

Apa yang Heza lakukan selama SMP?

Ia mendapatkan ponsel pintar pertamanya. Ia membuat aneka akun di berbagai platform media sosial. Ia mem-follow akun-akun penuh kutipan yang sebenarnya hanya menyalurkan kegalauan anak remaja. Dan, ya, Heza ikut galau.

Rumah sepi tanpa omelan Ayne. Dalam hati, Heza ber-hiss sendiri, tak menyangka ia akan merasa hampa setelah tak lagi mendengar ancaman cubit, jitak, atau omongan pedas kakaknya. Itu yang menyebabkan ia makin sering tenggelam dalam lamunan dan media sosial, biasanya baru sadar ketika ayah atau bundanya memanggil.

Awal SMP, Heza sudah niat melancarkan kebiasaan isengnya. Namun, sepertinya, anak-anak perempuan di sekolah barunya lebih sulit ditaklukkan–maksudnya, susah dibuat menangis, kecuali beberapa yang sungguhan manja dan jadi bulan-bulanan. Meski jail, Heza itu anak baik-baik. Ia tak tega dan akhirnya meminta maaf. Sialnya, Keira, anak manja itu, malah memanfaatkannya.

"Coba kalau minta maaf, beliin aku permen!" ujar Keira sambil bersedekap dan air mata masih bercucuran, tetapi mulutnya menyunggingkan senyum aneh.

"Oke," sahut Heza. Ia tak mau berlama-lama. Namun, itu yang membuat masalahnya jadi berlarut-larut. Keira merasa seperti di atas angin, sedangkan Heza tak peduli setelah menanyakan satu hal: "Apa kamu pernah gambar di tembok?" dan dijawab dengan gelengan pasti Keira.

"Kamu kayak ketempelan," seloroh Yosi, teman sebangku Heza saat kelas 7. "Siapa suruh anak manja dibaikin? Jadi ngelunjak doi!"

"Iya. Nyesel aku udah baikin." Heza nyengir kuda. "Bantu aku, Yos. Jauhi aku dari makhluk satu itu!"

"Tapi, ya, kamu itu dari awal udah gangguin anak cewek. Demen apa demen?" Yosi tampaknya lebih waras daripada Sarif dulu, bahkan dibandingkan Heza sendiri.

"Hobi," jawab Heza, separuh serius separuh asal.

Yosi mendorong Heza sampai Heza nyaris menyentuh lantai. "Hobi enggak ada yang bener dikit, apa?"

"Hobi gangguin anak cewek?"

Suara anak perempuan itu langsung membuat Heza dan Yosi duduk tegak di bangkunya, bersiaga jika tiba-tiba Keira muncul. Namun, itu ternyata Syafa. Bendahara kelas yang segalak rentenir kalau menagih uang kas, dan tentunya orang yang tidak bisa Heza buat menangis. Yang ada, Heza kena tonjok tempo hari.

"Hmm ... kukira, kamu cuma caper soalnya pengin diperhatiin cewek. Tapi, ternyata hobi?" Syafa menudingkan jarinya ke tengah dahi Heza. "Enggak waras otakmu! Sakit jiwa, ya?"

"Buset dah. Kamu galaknya kayak kakakku," keluh Heza.

"Oh, gitu? Baguslah, kalau itu bikin kamu tobat." Syafa bersedekap sambil tersenyum miring. "Aku awasin kamu mulai sekarang. Yos, kamu juga. Kesehatan jiwa temen sebangkumu mengkhawatirkan."

"Apa-apaan, kok dia ngomongin kejiwaan melulu? Mau nyumpahin aku gila apa gimana?" Heza berseru gusar setelah Syafa melenggang pergi–setelah memukul meja Heza dengan cukup keras.

"Mau jadi psikiater, kali. Tapi asal diagnosis, bahaya juga," gumam Yosi.

"Psikiater? Diagnosis?" Heza menoleh heran, tetapi kawan sebangkunya hanya mengangkat bahu.

Di luar masalah Keira dan lainnya, jika sedang tenggelam dalam media sosial, Heza hobi me-retweet aneka kutipan yang ia anggap sesuai dengan kehidupannya–relate, begitu istilahnya. Sampai ia menemukan sebuah kutipan yang membuatnya terpaku.

Lelaki yang membuat perempuan menangis adalah lelaki berengsek. Lepaskan, lupakan, ia tak pantas untukmu yang berharga.

Heza langsung terbatuk-batuk cukup lama sampai wajahnya memerah. Ditambah lagi kakaknya–yang sedang libur akhir pekan sehingga bisa menggunakan ponsel di asrama–mengirimkan kutipan yang sama, dihiasi dengan hiasan glitter dan bunga-bunga. Heza langsung menjawabnya dengan huruf "AAAAAAA" sebanyak mungkin.

Behind Your SketchesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang