37. Bersama

37 8 5
                                    

"Itu apa?"

Heza terkesiap ketika Yosi menunjuk tas yang ia bawa-bawa. "Euh ... pempek?"

"Pempek?" Lagi, tiga pasang mata memandang Heza dengan tatapan menghakimi.

"Astagfirullah," gumam Syafa. "Jadi, kalian begitu."

"Kalian siapa?" Heza langsung bereaksi.

"Kamu ... aku ke sini buat ngecek kamu, soalnya Nera panik tahu!" Syafa menodong Heza. "Tapi, ternyata, kalian ketemuan?!"

"Bu-bukan gitu!" Heza sampai mengangkat tangannya, kaget.

"Tenang, Heja. Syafa pakai alasan Nera, padahal dia juga cemas." Yosi berucap kalem.

"Diam!" Syafa gelagapan.

"Maaf, udah bikin cemas," ucap Heza akhirnya. Ia menghela napas sebelum bisa menjelaskan. "Kebetulan. Tadi aku nyamper rumah Nera, dia langsung kasih oleh-oleh. Yang lain katanya mau dikasih nanti di sekolah. Tapi Yosi kayaknya enggak dapet." Heza cengengesan. Enggak bohong, 'kan?

"Ya, enggak papa. 'Kan dapat jatah darimu," sahut Yosi. Anak itu memang kalem, tetapi sikapnya yang to the point kadang bikin senewen.

"Hapemu, yang baru diservis itu ... jatuh?" Rosa baru bisa berkomentar setelah sekian lama. Ia menghela napas. "Kamu juga belum ganti hape dari awal SMP. Ya, sudahlah. Nanti bilang ke Ayah aja."

"E-eh, ini gara-gara aku ceroboh!" Heza menggaruk kepalanya. "Maaf, nambahin pengeluaran."

Rosa hanya melambai sambil tertawa. "Gorengin pempek, Za. Biar temen-temenmu ini bisa kalem, abis emosi tadi."

"Syafa hampir na–"

"Diam!" Syafa mengacungkan tinju ke depan muka Yosi.

Heza tersenyum kecil. "Baiklah, bocah rumah tangga ini akan melayani kalian." Ia melangkah ke dapur dan mengeluarkan kotak berukuran lumayan besar, penuh berisi pempek aneka rupa, berikut kuah cuko dan mentimun. Heza memang "bocah rumah tangga" sejak sering ditinggal sendirian di rumah. Tentu saja tidak ujug-ujug bisa memasak. Ia merengek pada Rosa supaya diajari. Biar bisa bertahan hidup, katanya.

Paling tidak, suasana di ruang tamu sudah berangsur membaik. Apalagi setelah Heza membawakan sepiring besar pempek beserta semua pelengkapnya, tak lupa mangkuk-mangkuk kecil dan sendok.

"Benar-benar kayak pelayan." Syafa geleng-geleng kepala. "Kamu enggak berubah dari pertama kali kami ngerusuh ke sini, Ja."

"Buat apa berubah kalau udah keren?"

Yosi benar-benar menimpuk Heza setelah itu. Namun, ia tertawa. "Enggak seratus persen sama, sih. Kamu juga berubah. Lebih bisa nahan diri, kecuali narsisnya. Bikin eneg!"

"Yaa, maaf. Jadi orang harus pede dalam beberapa situasi. Istilahnya, tahu diri." Heza membela diri dengan perkataan yang justru membuatnya bingung sendiri.

Setelahnya, mereka, bersama Rosa juga, makan-makan sambil mengobrol santai. Firnanda pulang tak lama kemudian, setelah ada pertemuan pagi bersama kliennya. Ia juga mendapat jatah pempek. Firnanda tertawa lebar, sebelum Heza mengabari soal ponselnya yang terjatuh. Tawa Firnanda lenyap, digantikan tatapan tajam.

"Baru diservis, juga," gerutu Firnanda.

"Maaf, Yah! Apa aku harus cari duit sendiri?" Heza mengkeret.

Sementara itu, Syafa dan Yosi hanya menikmati tontonan di hadapannya.

****

Hari Senin, setelah sehari sebelumnya para anggota kelompok belajar memutuskan diskusi daring lewat grup, alias sibuk belajar materi untuk ujian hari ini.

Behind Your SketchesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang