"Ehem!"
Dehaman Heza mengalihkan atensi dari Nera, tampaknya memang ia sengaja. Meski begitu, Ayne tetap bangkit dan menghampiri Nera.
"Ada apa?" tanya Ayne dengan nada khawatir. Ia membantu Nera berdiri. "Kamu kayaknya syok berat."
Nera mengerjap beberapa kali. Ia antara sadar dan tidak soal apa yang terjadi barusan.
"Kak." Heza tiba-tiba memanggil.
Ayne menoleh, melihat adiknya komat-kamit tanpa suara. "Apa, sih?" tanyanya gusar.
"Sini!" Heza tak kalah gusar.
Kali ini, Ayne menurut. Rupanya, Heza hendak membisikkan sesuatu. Sesuatu yang membuat Ayne terbelalak. Ia langsung menoleh, mencari Nera. Anak itu menghilang. Ketika sedang panik, Ayne mendapati Nera sedang duduk di samping Rosa.
"Ada apa, Kak?" tanya Rosa.
"Em, aku mau ngomong berdua ... sama Nera." Ayne menunjuk Nera. "Nera, boleh ikut aku sebentar?"
Nera mengangkat wajahnya perlahan. Ayne bisa melihatnya. Wajah anak perempuan yang pucat dan tampak tertekan. Nera mengangguk perlahan. Ayne mengajaknya keluar.
Tak ada obrolan selama kaki mereka melangkah. Ayne pikir, ia akan membawa Nera ke taman saja. Ia akan mencari tempat yang agak sepi. Ia merasa campur aduk karena apa yang Heza bisikkan tadi.
"Maaf baru kasih tahu sekarang, Kak. Kakak mungkin pernah dengar nama Nera, soalnya itu yang kuceritakan dulu, nama yang kudengar di dalam mimpi. Mungkin juga dia yang kucari dari dulu. Dia juga temanku yang kukejar kemarin. Tapi kayaknya ada masalah dengan ingatannya, termasuk soal orang tuanya. Jadi, tolong ... jangan bahas soal itu. Coba Kakak ajak ngomong dia soal yang pernah aku ceritakan, tapi hati-hati. Aku percaya Kakak."
"Nera?"
"I-iya?"
Ayne menghentikan langkahnya sebelum mereka keluar ke pintu taman. Ia berbalik, memastikan Nera masih di sana, juga karena tidak tahan berada di depan. "Sini, jangan di belakangku kejauhan begitu."
Nera melangkah dengan amat lambat.
"Hei, kami ini bukan keluarga tukang tuntut ganti rugi. Aku cuma suka main tangan ke Ez, enggak ke orang lain. Aku juga enggak gigit. Ayolah, jangan takut!" Ayne gemas sendiri pada orang yang begitu malu-malu di hadapannya.
"Tu-tukang tuntut ganti rugi?" Nera tersentak.
Ayne mengembuskan napas, lalu meraih tangan Nera. Ia menarik anak itu sampai ke taman. Suasana relatif ramai. Maklum, hari Minggu, jam-jam membesuk pula. Ayne mencari-cari tempat yang cukup privat. Agak sulit rupanya. Akhirnya, ia duduk di bangku koridor yang menghadap taman.
"Pertama-tama, biar kamu enggak ketakutan begitu, hmm ...." Ayne berpikir sejenak. "Tunggu sebentar di sini."
Ayne beranjak ke sebuah kios yang ada di dekat taman dan membeli dua gelas es cokelat. Ia kembali dan langsung mengangsurkan satu ke Nera.
"Eh, enggak usah–" Nera gagap menolak.
"Kok enggak usah? Aku maksa, nih!" Aura mengintimidasi Ayne memang kuat. Lebih kuat daripada Syafa, kalau kata Heza. Mana ia lebih tua.
Nera akhirnya menerima dengan gugup. Ayne kembali duduk di sebelah Nera dan menyesap sebagian cokelatnya.
"Nah, Ez sudah menceritakan ke aku soal apa yang ia lakukan kemarin. Dia sama sekali enggak menyebut namamu, cuma bilang temanku. Jadi, ternyata itu kamu yang dia maksud." Ayne mengangguk-angguk. "Kamu jangan menampik kecemasan orang-orang, Nera. Ez bilang, enggak cuma dia yang cemas. Semuanya panik pas kamu tiba-tiba pamit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind Your Sketches
Teen Fiction[First draft; completed] [TOP #2 MWM NPC 2022] Sejak kecil, Heza si lelaki ceria penasaran dengan coretan yang ada di kamar rumah barunya. Kesamaan yang ia lihat tanpa sengaja di buku gambar Nera, teman sekelas SMA-nya, membuat Heza mendekati gadis...