10. Gambar Nera

40 10 7
                                    

Heza takjub melihat Nera mengeluarkan buku gambarnya. Ia tak bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya.

"Ada sesuatu yang mau kamu tunjukin di situ? Padahal waktu itu, kamu bilang, jangan pernah tanya soal buku gambarmu lagi ...."

Nera merenung sesaat. "Maaf, aku lagi sensitif waktu itu."

Hening beberapa detik.

"Jadi—"

"Itu—"

Ucapan Heza dan Nera yang berbarengan justru membuat keduanya bungkam sambil menunduk, sama-sama salah tingkah.

"Jadi, kamu beneran mau nunjukin sesuatu di sana?" tanya Heza, memecah suasana canggung.

"Lebih tepatnya ... sesuatu yang mau kubuat di sini." Nera membuka buku gambarnya cepat, seolah tak mau menunjukkan halaman pertamanya. Ia langsung membuka halaman kosong dan menyiapkan pensilnya.

"Sorry ... aku ngomong sambil corat-coret, ya," ucap Nera pelan. "Kagok sih kalau dilihatin, tapi buat sekarang, aku mau kamu tahu."

Apa Heza penasaran? Tentu saja! Rasanya, ia seperti akan mendengar rahasia. Rahasia dari orang yang ia sukai diam-diam ....

Waduh, kayaknya aku naksir beneran.

"Aku hobi menggambar," ucap Nera. "Dari kecil, aku suka banget corat-coret apa pun. Semua buku gambarku penuh. Tembok rumah juga jadi korban. Meski ... ehm." Nera menggaruk kepalanya, tampak malu mengatakan sesuatu. "Yah, pokoknya, begitulah. Tapi, beberapa waktu lalu, ide yang muncul rasanya suram melulu. Aku jadi terbebani sama imajinasi sendiri."

Heza menyimak, tetapi ia terkesima. Apalagi pada kata-kata tembok rumah juga jadi korban. Apa kalau ia menanyakan rumahnya sekarang ....

Oke, nanti dulu. Buru-buru amat mau ngajak cewek ke rumah?

"Idemu suram? Kok bisa jadi beban?" tanya Heza mencoba bersimpati.

"Ya ... begitulah. Aku bingung jelasinnya, intinya begitu." Nera tampak bersikukuh. "Itu ngaruh ke ekspresiku juga, kayaknya. Aku juga jadi lebih pendiam. Tapi ...."

Nera mencorat-coret buku gambarnya dengan cekatan. Ia menggambar pemandangan. Mungkin, yang tampak bagi Heza sekarang, itu adalah versi advanced dari gambar legendaris anak TK: gunung.

"Sejak kamu ajak aku ngomong, yang muncul itu ide-ide yang menyenangkan." Nera bersemu saat mengatakannya. "Aku ... aku sering dihantui pikiran buruk. Jadi aku senang sekali kemarin ini. Makanya juga ... aku jadi lebih senang kalau dekat denganmu?"

Sepeka-pekanya Heza, kali ini, ia membutuhkan usaha keras untuk mencerna semuanya. Apalagi soal ... Nera yang ingin dekat dengannya, bukan karena perasaan yang seperti ia pikirkan, melainkan senang karena Heza seolah memberi kebahagiaan padanya.

Apakah salah?

Tidak. Heza saja yang terlalu berharap. Lagipula, menjadi sumber kebahagiaan orang itu, orang yang kautaksir itu, rasanya sungguh membahagiakan.

"Anu, Nera ... bukannya aku enggak mau dekat denganmu, ya." Heza berdeham, berusaha keras bertingkah normal. "Eh, aku boleh duduk di sini?" Heza memang dari tadi berlutut di depan meja Nera. Ia menunjuk bangku Derina. Nera mengangguk, Heza pun berpindah tempat.

"Aku senang kalau bisa bikin kamu senang juga," ungkap Heza jujur. "Tapi, kamu enggak boleh menggantung kesenangan ke orang lain. Kalau ... kalau lagi enggak bisa ketemu, gimana?"

".... Ah." Nera sepertinya baru tersadar. "Iya juga, sih. Tapi ...."

Heza sangat menunggu-nunggu lanjutan setelah kata tapi itu.

Behind Your SketchesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang