28. Maaf

23 7 0
                                    

"Kamu Heza, temannya Nera, 'kan?"

Heza yang baru hendak naik lagi ke ranjangnya kini terpaku. Ia mengerjap beberapa kali. Siapa wanita ini? Kenapa kenal aku ... dan kenapa bawa-bawa nama Nera?

"Nera di sebelah," lanjut wanita itu lagi.

"Uh ... apa?" Heza kontan mengernyit karena reaksi kekagetannya membuat rusuknya kembali merasakan sakit.

"Eh, maaf, Nak." Wanita itu buru-buru menghampiri Heza. "Butuh bantuan?"

"Aku ... bisa sendiri," gumam Heza. Ia perlahan naik ke kasurnya dan langsung duduk dengan posisi agak membungkuk. Belum apa-apa, ia sudah lelah.

"Aku Asma, bicik—tantenya Nera. Waktu itu kita sudah ketemu, 'kan?"

Heza terperangah. Pantas familier! Baru juga bertemu beberapa hari yang lalu. Ah, ya. Hari itu ....

"Ne-Nera di sebelah?" Heza bertanya sambil tergagap. "Dia sakit? Kenapa?"

Asma diam saja. Ia mengamati Heza dari ujung kepala sampai ujung kaki, membuat Heza buru-buru menyambar selimut dan membungkus dirinya.

"Eh, maaf, aku enggak sadar." Asma tampak menyesal. "Nera cerita kalau Heza kecelakaan. Apa ... apa kamu tahu soal ... Nera?"

Heza menelan ludah. Apa yang Nera ceritakan pada tantenya? Ia mendadak takut.

"Maaf."

"Eh?" Heza sampai melongo. Kenapa minta maaf lagi?

"Sebagai walinya, aku minta maaf. Pasti dia juga sudah berkali-kali minta maaf padamu, ya? Tapi dia enggak akan bisa menghapus rasa bersalahnya. Jadi, Heza, soal apa pun yang kamu tahu soal Nera ... apakah kamu memaafkannya?"

Heza benar-benar kesulitan mencerna. Tampaknya, efek dari benturan itu benar-benar nyata. Otaknya terasa lemot sekali sekarang. "Yang aku tau soal Nera? Apa maksud Tante ... gambarnya?"

Asma tampak terkesiap, tetapi ia buru-buru mengendalikan dirinya. "Ya, itu termasuk." Ia mengangguk.

"Kenapa Tante sampai minta maaf juga? Apa benar-benar buruk?" Heza masih tak paham.

Asma menghela napas. Tampaknya, ia harus menahan diri karena di hadapannya ini juga pasien. Pasien cedera kepala, pula. Heza jadi merasa bersalah karena terus mencecar sejak tadi.

"Heza ... aku mau memastikan sesuatu. Apa kamu tahu kenapa Nera pendiam dan kesulitan berteman?"

Heza menelan ludah. Ia tahu, tentu saja. Maka, ia mengangguk pelan.

"Coba katakan."

"Karena apa yang dia gambar itu adalah firasat buruk yang melibatkan orang-orang di sekitarnya, dan bisanya menjadi nyata. Dia selalu bilang kalau dia adalah anak sial." Heza tiba-tiba merasa seolah-olah ia baru saja mendapat pencerahan. Omongan Asma mulai terangkai di kepalanya, membentuk suatu alasan. "Tapi, Tante, bukannya aku menentang pikirannya itu. Aku ... aku cuma mau membuktikan kalau pikirannya itu salah, dengan cara yang bikin dia benar-benar paham."

Asma tampak terperangah.

"Aku sudah maafin dia, dengan harapan dia enggak lagi merasa bersalah. Dia memang enggak salah. Kalaupun Tante minta maaf, aku bakal bilang, aku bakal maafin ... uh, uhuk!"

Heza tak sadar ia bicara terlalu panjang. Tiba-tiba saja dadanya terasa nyeri sampai ia kesulitan bernapas. Tangannya meraba-raba, mencari obat pereda nyeri. Bukan hanya itu, kepalanya mendadak sakit, rasa mual naik ke kerongkongan.

"Heza!" Asma langsung menghampiri. "Butuh panggil suster?!"

Heza masih berusaha mengatur napas. Rasa nyeri itu hilang perlahan, tetapi mualnya tetap. Mungkin, ia harus ke kamar mandi. Ia memberi isyarat pada Asma untuk menepi. Ia ingin berlari, tetapi tak sanggup. Tanpa sadar, ia malah mencengkeram tangan Asma.

Behind Your SketchesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang