21. Dekat

32 8 0
                                    

Tentu saja, Heza tak akan membiarkan dirinya sendiri sampai membuat perempuan kecewa, lebih tepatnya, Nera–eh, maksudnya, siapa pun juga. Heza paling tak tahan tatapan kekecewaan orang lain pada dirinya. Dahulu, ketika SD, meski ia terlalu sering dipanggil guru piket, tak pernah ada yang menyorotkan kekecewaan padanya. Heza sendiri juga bingung. Ia mengganggu anak-anak perempuan dan membuat mereka sampai menangis, tetapi tak ada yang sampai benar-benar memarahinya. Tidak ada yang protes ke orang tuanya sampai-sampai Heza didatangi di sekolah. Bahkan guru-guru pun hanya sekadar menepuk dahi dan menasihatinya.

Mengapa tiba-tiba Heza kepikiran?

Heza merasa, ada yang orang lain lihat pada dirinya. Yang bahkan ia sendiri tak tahu itu apa. Bahwa Heza tak punya tendensi untuk membandel? Atau, Heza sebenarnya tidak salah?

"Enggak bakal." Itulah yang akhirnya Heza jawab atas ucapan Evan tadi.

Hari itu, kelas ramai sepanjang waktu. Pasalnya, kantin yang ditutup membuat anak-anak yang terbiasa jajan jadi agak kelimpungan. Sampai saat pulang pun, beberapa anak masih tinggal dan ber-haha hihi cukup lama. Heza masih termenung di kursinya ketika Evan pamit. Hari ini Kamis, Syafa tidak merusuh ke kelasnya karena langsung les. Derina santai-santai di kursinya, mengobrol dengan Nera. Heza menghela napas.

Aku nunggu apa, sih?

Sepertinya, hari ini, ia pulang cepat saja.

Heza bangkit dan merapikan bangkunya, lalu berjalan dengan langkah terseret ke pintu kelas.

"Eh, Heza!"

Itu Derina. Heza menoleh, mendapati anak itu memanggilnya dengan isyarat tangan. Heza jadi mendekat. "Kenapa?"

"Urus dia, dong." Derina menunjuk ke arah Nera. Nera sendiri langsung mengernyit.

"Urus? Urus gimana?" Heza ikut heran.

"Sini, sini." Derina memberi kode supaya Heza makin mendekat. Suaranya memelan. "Nera bilang, dia bakal aman kalau sama kamu."

"Hah?" Heza sungguhan ternganga. "Aku dianggap sabuk pengaman atau gimana?"

"Ya, enggak tahu." Derina tampaknya kesal dengan perumpamaan ngawur yang diucapkan Heza. "Itu yang dia ceritakan ke aku. Tapi dia enggak bisa jelasin lebih lanjut, katanya." Derina memicing. "Kalian memang ada apa-apa, ya. Yang kalian rahasiakan dari kami."

".... Der?"

"Ya?"

"Tolong, jangan kecewa, apalagi sama Nera." Heza berucap pelan. Ia serius kali ini. "Tolong juga, jadi temannya yang baik, biar dia bisa lebih terbuka sama kamu. Yang kutahu, dia agak sensitif sama sesuatu, jadi enggak bisa langsung terbuka ke orang lain."

"Euh ... oke." Derina mengangguk pelan. "Agak kecewa, ya. Tapi, enggak papa. Yang penting, kamu enggak bikin dia lebih buruk lagi. Sekali lihat juga aku tahu kalau Nera punya masalah. Mungkin dia trust issue ke orang-orang?"

Trust issue. Heza mengangguk pelan. Bisa jadi.

"Aku berusaha akrab dengannya dari hari pertama, tapi kayaknya kamu yang lebih dulu berhasil memicunya." Derina menghela napas. "Yah ... enggak heran, kalau dia jadi lebih ketergantungan ke kamu."

"Ketergantungan?"

Tampaknya, satu kata itu yang berhasil Nera tangkap karena anak itu tiba-tiba menyahut.

"Ke Heza?" Nera masih melanjutkan. "Oh, kalian ngomongin aku ya tadi?"

Derina dan Heza langsung menampakkan ekspresi bersalah, alias tertangkap basah.

"Maaf, Ner. Enggak maksud yang buruk-buruk. Aku cuma cemasin kamu," ungkap Derina. "Heza yang antar kamu habis pingsan kemarin, jadi aku tanya-tanya dia."

Behind Your SketchesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang