"Wow, ramai."
Hari Senin, terhitung sudah lewat dua hari Heza berdiam di rumah sakit. Alasannya harus bed rest adalah karena kepalanya mengalami cedera yang mengakibatkannya gegar otak. Tidak parah, tetapi tidak masuk kategori yang ringan. Pasalnya, ia mengalami benturan cukup keras—padahal sudah memakai helm.
Heza masih ingat apa yang dikatakan—alias disembur—Syafa, hari Sabtu kemarin.
"Makanya, kalau masih di bawah umur jangan lewat jalan besar! Orang lain yang salah, kamu juga salah! Bodo amat soal undang-undang perlindungan anak di bawah umur, kamu 'kan tetap harus denda!"
Syafa baru bungkam setelah Yosi berdeham dan tiba-tiba bicara hal lain: soal pembela hak perempuan. Enggak nyambung, sih.
Kali ini, anak-anak sekelas menjenguk Heza. Namun, untuk pertama kalinya, Heza lebih menginginkan suasana sepi. Meski begitu, sebagai seorang yang memang bawaan lahirnya senang berbaur, ia tidak bisa menyembunyikan antusiasmenya.
"Jangan berisik, pasien enggak cuma aku!" seru Heza.
"Lo, kok masih hidup?" Malah begitu tanggapan Devi.
"Anda mau saya mokad?"
Sebenarnya, Heza merasa ia mendadak sensitif dengan kata-kata masih hidup ataupun mati. Mengapa? Ia juga tak tahu. Namun, Heza berusaha menekan perasaannya dengan menganggap itu guyon belaka. Sambil mengobrol dengan beberapa teman sekelasnya, pandangan Heza mencari-cari. Rasanya, ia sudah bisa menduga, meski sebenarnya ia berharap dugaannya salah. Hanya satu orang yang jelas-jelas ingin ia ajak mengobrol sekarang. Nera. Dan gadis itu tidak ada.
"Cari Nera?" Itu Derina. "Maaf, dia enggak bisa ikut."
"Kenapa kamu yang minta maaf?" Heza mengernyit.
"Karena dia pasti bakal minta maaf, jadi aku sampaikan aja duluan," sahut Derina santai. "Kamu bisa nebak kenapa dia enggak mau ikut?"
"Hm ... bosen lihat aku?"
Derina hampir saja tersedak. "Dih, pede kali Anda!"
Heza nyengir. Meski begitu, dalam hati, ia bisa menebaknya ... dengan tepat.
Nera pasti masih merasa bersalah. Dia pasti teringat hal-hal buruk yang pernah terjadi dan sekarang memilih untuk menghindar.
Heza menghela napas. Ingin rasanya ia mengontak Nera. Ponselnya sedang dalam usaha diservis, mungkin besok bisa diambil.
Kunjungan itu tak berlangsung lama, apalagi mereka terlalu ramai. Ada 28 orang yang menjenguk, meski tidak semuanya langsung masuk ke dalam ruangan. Bergantian. Kalau sekaligus semua, bisa-bisa langsung diusir satpam saking ributnya.
"Habis ini kamu sendirian lagi. Enggak kesepian?" Evan tetap bercokol di samping ranjang Heza meski yang lain bergiliran masuk.
"Mengejutkannya, enggak. Kayaknya ini juga efek sakit kepala, aku jadi lebih suka keheningan." Heza menghela napas. Rusuknya berkontraksi, membuatnya mengernyit. Sakit. "Eh, Derina udah keluar, ya?"
"Kenapa?" sahut Evan.
"Hahaha, aku pengin bilang ke dia, tolong titip jagain Nera."
Hening sesaat. Tak ada reaksi dari Evan.
"Aku pengin dia punya teman kepercayaan, tapi gimana? Nera sendiri yang ngaku kalau ... dia takut berteman dekat dengan orang lain."
"Apa kamu tahu rahasianya?" tanya Evan pelan.
"Rahasia?" balas Heza. "Kalaupun dia merahasiakan sesuatu, aku enggak akan memaksanya cerita. Pokoknya, dia takut dekat dengan seseorang. Anggapan orang untuknya selama ini adalah anak sial. Pembawa kesialan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind Your Sketches
Teen Fiction[First draft; completed] [TOP #2 MWM NPC 2022] Sejak kecil, Heza si lelaki ceria penasaran dengan coretan yang ada di kamar rumah barunya. Kesamaan yang ia lihat tanpa sengaja di buku gambar Nera, teman sekelas SMA-nya, membuat Heza mendekati gadis...