Sebenarnya, Heza tak tahu pasti apa penyebabnya menunjuk Nera, selain karena ingin. Alasan yang ia jabarkan di depan kelas hanya karangan yang ia buat secara spontan. Yang satu hiperaktif, satu lagi pendiam ... apa-apaan?
Tidak ingin terjebak dalam perasaan sendiri, Heza mengontak orang yang selalu bisa ia andalkan sejak SMP: Yosi. Tidak di grup dengan Syafa, karena ia malas kalau anak perempuan itu meledeknya lagi seperti kemarin.
Yosi: Anjay, Heza udah gede, bisa naksir cewek.
Yosi: Ga papa selama itu bukan Syafa.
Heza: Kok kamu masih posesif gitu dah, udah misah sekolah juga!
Yosi: Tambah cemas kalau jauhan.
Heza mendengkus. Yang ada, Yosi malah membahas anak perempuan riweh itu lagi. Tiba-tiba Heza teringat sesuatu.
Heza: Kamu mau ketemuan sama Syafa hari Sabtu nanti?
Yosi: Asyeemmmmm.
Heza meledak tertawa. Untuk hal ini, ia lebih peka dari Syafa. Yosi hanya mengajak Syafa, tidak dengan Heza.
Yosi: Aku bilang ke orangnya, deh. Dia gantung jawabnya.
Heza: Kalian PC-an tanpa aku.
Yosi: Ngaca, lagi apa lu sekarang?
Lagi-lagi, Heza terkekeh. Tawanya berhenti ketika ada pesan masuk yang tak diduga-duga. Jaringan pribadi, pesan singkat dari seseorang yang baru ada di kontaknya beberapa hari terakhir.
Brunnera: Halo, Heza. Ini Nera. Maaf mengganggu waktunya. Kalau enggak salah, kata Ilyas tadi, kita disuruh mutusin sendiri bakal ngapain di depan, ya?
"Phuuufff!"
Heza tidak sedang minum, tetapi liurnya muncrat begitu saja. Mana ia tanpa sengaja menekan notifikasi pesan itu, sehingga langsung terbaca olehnya ... dan ketahuan oleh Nera, mestinya.
Heza: Iya. Kamu lebih milih yang mana? Aku bisa mana aja.
Setelah itu, Heza berjingkrakan sendiri, meluapkan kegirangannya. Saat itulah, sudut matanya menangkap tembok dengan cat yang terkelupas di pinggiran kamarnya. Ia langsung tertegun.
Haruskah langsung kutanyakan? Eh, tapi ....
Heza ingat apa yang dikatakan perempuan itu sambil berlinangan air mata.
Jangan mengintip gambarku lagi. Jangan minta aku perlihatkan isi buku gambarku.
"Susah, ini ...." Heza menggaruk kepalanya. "Ini belakangan aja, deh. Dia orang yang sama atau bukan, nanti saja kupastikan."
Tak lama, ponsel Heza bergetar lagi.
Brunnera: Apa pun yang bisa lebih diam.
Heza berpikir sejenak. Sepertinya, saran beberapa orang di kelasnya bisa ia pertimbangkan.
Heza: Kalau gitu, gimana kalau ....
****
Hari terakhir MPLS.
Anak-anak kelas 10 sudah ribut sejak baru masuk gerbang. Lapangan sudah disiapkan untuk berbagai pertunjukan. Heza sendiri duduk-duduk santai di depan kelasnya. Katanya, Syafa akan bertandang. Daripada anak itu masuk ke kelasnya dan merusuh, sebaiknya Heza tunggui di depan kelas saja.
"Heja! You okay?" sapa Syafa begitu melihat Heza. "Kamu santai sekali kelihatannya."
"Apa yang perlu diribetkan, Sobat?" sahut Heza.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind Your Sketches
Teen Fiction[First draft; completed] [TOP #2 MWM NPC 2022] Sejak kecil, Heza si lelaki ceria penasaran dengan coretan yang ada di kamar rumah barunya. Kesamaan yang ia lihat tanpa sengaja di buku gambar Nera, teman sekelas SMA-nya, membuat Heza mendekati gadis...