Mana Nera tahu?
Saat ia menyentuh tangan Heza, sesuatu seperti menyetrumnya. Mengalir ke alam pikirannya. Yang pertama terngiang adalah apa yang sempat ia bayangkan tadi pagi: darah.
Mana Nera tahu, apa yang dimaksud darah itu? Namun, dari pagi tadi, firasatnya sudah aneh. Berdekatan dengan Heza juga tak membuatnya kunjung merasa baikkan. Nera akhirnya berusaha mengabaikan perasaan ganjil itu. Ikut ke ruang tamu dan makan siang bersama yang lainnya, seolah tak ada apa-apa.
Harusnya memang tak ada apa-apa, bukan?
Mana Nera tahu kalau sungguhan ada sesuatu yang akan terjadi?
Ketika Nera melihat kertas gambarnya yang masih kosong, sesuatu muncul dan mengusik pikirannya. Menghilangkan kesenangan yang sudah Nera pupuk sejak berhari-hari. Bukannya Nera tak tahu itu apa. Ia denial. Namun, hal itu rupanya makin tak tertahankan ketika tangannya justru bergerak sendiri.
Apa yang tangannya perbuat? Mengapa begitu kekeh menggambar isi pikirannya?
Nera benar-benar ketakutan saat itu. Ia merasa tak pernah sampai kehilangan kendali atas tangannya sendiri. Beruntung, Derina mau membantunya. Yang lain juga langsung menanyakannya. Namun, Nera tak bisa menjawabnya. Ia juga tak tahu apa yang terjadi.
Nera merasa amat lega ketika tangannya sudah berhenti bergerak semaunya. Namun, ia tidak bisa langsung lega. Tiga orang yang menyaksikan pasti akan sangat bertanya-tanya. Ia pun sempat melirik Heza sebelum meminta waktu sendiri. Anak laki-laki itu terlihat sangat tercengang.
Sebaiknya, Nera memang pamit saja. Ia hendak merapikan semua barangnya. Ketika ia melihat apa yang tangannya perbuat di kertas itu ....
Heza. Itu Heza. Dan darah.
Sama sekali bukan pertanda baik. Ketakutan melanda Nera, membuatnya impulsif memutuskan sesuatu: pergi, menjauh secepatnya. Terutama dari Heza.
Maaf, aku ... takut banget!
Nera berlari sampai halte. Ia terengah-engah. Sesekali ia coba menoleh ke belakang, memastikan apakah ada yang mengikutinya. Ia agak sedih, tetapi juga merasa bersyukur karenanya.
Benar, Nera impulsif. Ia sama sekali tak memperhitungkan dampak kelakuannya itu. Mungkin, itu juga disebabkan Nera yang memang tak pernah masuk ke lingkaran pertemanan mana pun. Ia tak pernah tahu apakah perbuatannya berefek ke orang lain atau tidak. Yang Nera tahu, gambar dari firasatnya itulah yang akan berdampak.
Namun, keesokan harinya, Nera terbangun dalam keadaan sangat pusing. Kemarin, Asma menanyakannya soal belajar kelompok, juga menanyakan Heza. Nera hanya bisa tersenyum menjawabnya. Lalu sorenya ia membantu Asma perihal kos-kosan dan urusan rumah tangga sampai ia lelah sendiri dan akhirnya melupakan yang terjadi.
Lupa, bukan berarti tidak bisa ingat lagi, bukan?
Nera pusing. Ia bermimpi aneh. Saat itu, rasa bersalahnya memuncak. Ia pamit tidak dengan cara baik-baik. Ia kabur. Ia sedang memikirkan kemungkinan ke rumah Heza hari itu ketika Asma mengetuk pintu kamarnya.
"Katanya hapemu hilang ya?"
Nera tersenyum kecil. Ia memang cerita soal itu ke Asma saat membantunya kemarin sore.
"Nih dari uwakmu. Katanya, lagi ada rezeki." Asma mengangsurkan sebuah kardus telepon pintar.
"Eh? Aduh ... kok merepotkan?" Nera sampai tergagap. "Makanya, aku enggak mau cerita ke Bicik awalnya ..."
"Jangan gitu, dong. Satu keluarga perhatian sama kamu. Kalau hapemu hilang dan kamu enggak bisa dikontak, yang panik semuanya."
Nera merasa terharu. Sebelum SMA, hanya keluarganyalah yang memperhatikan dirinya. Sekarang ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind Your Sketches
Teen Fiction[First draft; completed] [TOP #2 MWM NPC 2022] Sejak kecil, Heza si lelaki ceria penasaran dengan coretan yang ada di kamar rumah barunya. Kesamaan yang ia lihat tanpa sengaja di buku gambar Nera, teman sekelas SMA-nya, membuat Heza mendekati gadis...