Bukan hanya di mata Heza, Derina, atau orang-orang yang sering berinteraksi saja, melainkan semua orang merasakan perubahan Nera jika dibandingkan hari-hari awal.
Saat mulai masuk kegiatan belajar mengajar normal mulai pekan kedua, terlihat jelas bahwa Nera mulai percaya diri. Hawa suram yang sempat melingkupinya sudah terangkat, menghilang nyaris seluruhnya. Ia bisa aktif mengangkat tangan dalam sesi diskusi kelas, juga memulai pembicaraan.
Perkara ekstrakurikuler sendiri, Nera memutuskan ikut KIR supaya bisa tetap dengan Derina. Syafa pun akhirnya ikutan. KIR, atau Karya Ilmiah Remaja, adalah ekstrakurikuler yang berfokus pada penelitian di bidang sains. Isinya anak-anak ambisius sebangsa Derina. Evan benar-benar masuk robotik. Di sana ia bertemu banyak orang sejenis dirinya–pencinta anime dan gim. Heza sendiri yang masih galau akhirnya mengikut Evan. Mungkin ia akan ikut menjadi otaku, entahlah.
Di luar itu, untuk hal pembelajaran sesuai kurikulum, Heza merasakan sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Persaingan. Ini memang bukan sekolah negeri, tetapi anak-anak yang bersekolah di sini semuanya dilihat dari nilai rapor SMP dan tes masuk dengan standar cukup tinggi, apalagi murid beasiswa–seperti dirinya. Bahkan Evan yang terlihat sangat mau-mauan ternyata sangat pintar matematika–apa pun yang hitungan. Begitu berhadapan dengan biologi, Evan angkat tangan.
"Untuk tugas pekan pertama, buat makalah per kelompok, ya. Satu kelompok empat orang. Mau Bapak pilihin atau pilih sendiri?" tanya Pak Sule–panggilan akrab Sulaiman.
"Pak, baru pertama masuk langsung ada tugas?" Heza memprotes.
"Kenapa? Mau langsung ujian?' sahut Pak Sule, yang kontan membuat Heza kicep.
"Tentuin sendiri aja, Pak," sahut Ilyas dengan sangat tenang, padahal anak itu sempat mendelik ke arah Heza tadi.
"Oke, kalau bisa nanti datanya lapor ke saya ya pembagian kelompoknya," lanjut Pak Sule. "Pertemuan berikutnya masih materi. Selanjutnya, kalian presentasi."
Pak Sule pamit setelah itu, sementara Ilyas sibuk mendata anak-anak yang sudat ribut mencari kelompok masing-masing.
"Jangan suruh aku sekelompok sama kamu!" Belum apa-apa, Devi sudah berseru lantang ke arah Heza.
"Mikirin namamu pun enggak!" balas Heza.
"Ja, aku ngikut kamu," ucap Evan. "Mau jadi sisaan juga boleh."
"Pasrah amat, sih! Cari kelompok apa susahnya?"
"Kita 'kan bertiga puluh, kalau sekelompok empat orang, ada dua yang nyisa dong."
Ada benarnya, tetapi Heza tetap keki. Ia menoleh ke Ilyas. "Enggak ada yang berlima, Yas?"
"Dua kelompok lima orang. Kenapa? Mau gabung? Aku udah berempat, sih."
Heza baru saja menyerukan mau! Ketika Evan menyikutnya. "Dasar enggak setia kawan!"
"Emang kamu kawanku?!"
"Heza ...."
Panggilan lembut itu menginterupsi adu mulut Heza dan Evan.
"Aku sekelompok sama kamu, ya?"
Tiba-tiba saja, Nera sudah berdiri di samping meja Heza. Tangannya ia letakkan bersilangan dengan begitu sopan di atas meja. Anaknya sendiri memiringkan wajahnya sambil tersenyum.
"Hah? Bukannya kamu udah sama Denira ... Veni, dan Ghea ...?" Heza menunjuk dua orang di depannya dengan gugup.
"Enggak, Veni sama Ghea udah sama yang lain. Derina ngikut aku," jawab Nera kalem.
"Hei, tahu dari mana kalau aku belum ada kelompok?" Heza bertanya agak kikuk.
"Kalian berisik, sih."
Evan menutup mulutnya, tertawa diam-diam, sementara Heza mematung seperti orang bodoh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind Your Sketches
Teen Fiction[First draft; completed] [TOP #2 MWM NPC 2022] Sejak kecil, Heza si lelaki ceria penasaran dengan coretan yang ada di kamar rumah barunya. Kesamaan yang ia lihat tanpa sengaja di buku gambar Nera, teman sekelas SMA-nya, membuat Heza mendekati gadis...