3. Pencarian

39 13 7
                                    

Mohon maaf sebelumnya, Tare menikmati nulis bab-bab awal demi mood menulis yang lebih baik. Jadi ... pace ceritanya agak lambat. Hehe.

Selamat membaca

****

Heza merasa, Yosi dan Syafa benar-benar kombo yang aneh, mengerikan, tetapi juga klop. Membayangkan kedua orang itu mengobrol dengan bahasa tinggi mereka ... Heza yang langganan peringkat 3 besar selama SD saja sakit kepala. Bacaannya kurang banyak, sepertinya. Membaca kutipan remaja galau tiap hari tidak menambah pengetahuannya.

"Jadi, kamu cuma ingat samar-samar karena pas itu kamu baru lulus TK." Syafa mengangguk sok paham. "Terus, kamu penasaran, soalnya ... gambar di kamarmu? Kenapa? Kamu mau tahu siapa yang menggambar? Terus kenapa? Apa yang bikin kamu kepikiran?"

"Setop, setop!" Heza capek sendiri mendengarnya. "Satu-satu, dong!"

"Oke." Yosi berdeham. "Kenapa kamu penasaran?"

"Enggak tahu. Udah enggak penasaran sekarang," sahut Heza. "Tapi, yah, kalau bisa ketemu, boleh juga."

"Mau ketemu," ujar Yosi pada Syafa yang langsung mencatat.

"Kalian ngapain?!" Heza berjingkat, hendak merebut notes di tangan Syafa, tetapi perempuan itu berkelit dengan gesit.

"Sudahlah, nurut aja dan jawab pertanyaannya," sahut Syafa enteng.

"Apa yang bikin kamu pengin ketemu?" lanjut Yosi.

"Uh ... enggak tahu!" Heza makin mumet. "Pas dulu sih soalnya penasaran apa yang dia gambar. Sekarang aku udah enggak penasaran. Beneran!"

"Artefak apa yang dia gambar di kamarmu, hm?" sambung Yosi.

"Artefak?"

"Uh, peninggalan." Yosi menggaruk kepalanya. "Kamu bisa bikin gambarnya?"

"Ribet amat, kan ada teknologi namanya kamera." Heza mengeluarkan ponsel dari sakunya. "Hm ... udah lama banget sih fotonya, kayaknya udah kehapus. Oh, eh, ada!"

Keruan saja Yosi dan Syafa berkerumun melihatnya.

"Sebentar ...." Syafa memicing. "Kamu ... penasaran sama gambar bocah yang kayak begini?"

"Ya, aku penasaran, tapi pas masih bocah juga." Heza menekankan kata masih.

"Tapi ini jauh lebih mending, sih. Aku sudah takut jangan-jangan gambarnya itu dua gunung di belakang sawah yang di tengahnya ada jalanan dan sungai, terus ada matahari terbit di antaranya–"

"Enggak usah spesifik gitu juga orang udah tahu apa maksudmu," potong Yosi. "Terus, apa yang kamu rasain abis lihat gambar ini ... buat pertama kalinya?"

"Aneh, deh, pokoknya." Heza sampai segan menceritakan yang ia lihat selanjutnya saking seperti mimpinya. "Dan malamnya aku merasa mimpi soal keluarga yang tinggal di rumahku sebelumnya."

Syafa dan Yosi menyimak dengan serius, tidak lagi meledek seperti sebelumnya. Mungkin, perubahan sikap Heza memengaruhi keduanya. Dan Heza yang biasanya asbun alias asal bunyi dengan ekspresi tertawa itu sekarang sedang dalam mode tenang.

"Hmm, dan ayahmu bilang kalau keluarga sebelumnya memang punya anak perempuan," komentar Syafa. "Tapi ayahmu dan mereka hanya bertemu sepintas. Kamu enggak ketemu?"

"Aku enggak ikut pas Ayah survei rumah, aku pertama kali ke sana pas pindahan langsung." Heza menunduk sambil menggaruk tengkuknya. "Duh, gara-gara diungkit, aku jadi penasaran lagi. Apa jangan-jangan itu memang dia, ya?"

Behind Your SketchesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang