36. I'm Here

22 7 0
                                    

Suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya membuat Heza yang sedang merenung refleks mengangkat muka. Bagaimana ia tidak kaget, ada sosok serupa hantu di sana.

".... Nera?"

Bagaimana Heza bisa memercayai penglihatannya? Terakhir kabar yang ia tahu, Nera sedang di bandara di Palembang—tunggu, sekarang jam berapa? Sudah berapa jam ia merenung? Ia kelimpungan mencari jam. Namun, jam besar ada di tengah-tengah taman, tak terjangkau penglihatannya. Heza menoleh lagi, kini berjingkat melihat sosok itu berlinangan air mata sambil memanggil namanya.

Sosok itu berjalan pelan menghampirinya. Heza tambah kaku. Jujur, ia merasa ... sedikit horor. "Nera" itu terisak sambil menyeka wajahnya berkali-kali.

"Heza? Ini beneran Heza, 'kan? Kamu tadi manggil namaku?"

".... Iya? Kamu Nera, 'kan?"

Bruk.

Heza sampai mengangkat kedua tangannya, panik bukan kepalang, ketika Nera tiba-tiba berlutut dan ... menjatuhkan kepala ke pangkuannya, memeluk kakinya erat.

"Kamu kenapaaaaa?!" Heza tak bisa menahan kekagetannya. "Bangun!"

"Hezaaaaa!" Nera tiba-tiba meraung. "Kukira ... kamu ... celaka!"

"Hah?" Heza mendelik. "Lihat apaan kamu sampe mikir gitu?"

"Enggak mau ... enggak mau! Aku enggak mau jauhan lagi sama kamu!"

Heza berdeham. Bisa-bisanya ia malah salah tingkah dalam keadaan seperti ini: Nera, ya semoga itu Nera sungguhan, yang sedang histeris sambil memeluk kakinya. Rasanya seperti sedang bermain drama. "Ada apa?" tanyanya, berusaha selembut mungkin.

Nera tak menjawab. Ia masih terisak.

Heza jadi tak tahan. Tangannya perlahan menepuk kepala anak perempuan itu. Tak ia sangka, reaksi Nera justru kaget. Nera langsung mengangkat muka dan menjauh.

"Ke-kenapa?" Heza jadi tambah kagok.

"Ah ... uh." Nera menyentuh kepalanya. "Kukira, aku mimpi buruk ...."

Heza ingin bertanya lagi, namun sepertinya dari tadi ia terlalu banyak bertanya.

"Heza ...." Nera, lagi-lagi, berlinangan air mata. "Kenapa kamu enggak bisa dikontak?"

"Oh!" Heza memang baru ingat. Kejadian barusan, alias Nera yang muncul tiba-tiba, membuat Heza sempat melupakan masalah tadi. "Kamu cemasin aku gara-gara itu?" Ia tak tahan untuk tidak nyengir iseng.

"Banyak!" Nera kembali histeris. "Sambungan telepon tahu-tahu mati abis ada bunyi keras, terus kamu enggak bisa dikontak sama sekali! Aku mimpi buruk pas di pesawat! Sebelumnya ... sebelumnya! Aku, lagi-lagi ... aku enggak sadar bikin gambar ... kamu!"

Heza ternganga.

"Di mimpi itu ada kamu, kamu bilang, kita enggak akan bisa ketemu lagi ...."

Lagi, air mata perempuan itu luruh sampai menetes dari dagu. Nera duduk menjeplak sambil menangkupkan wajahnya ke tangan. Tangisannya tak berhenti.

Heza sendiri agak kaget. Yang paling membuatnya kaget adalah karena ini kali pertamanya ia melihat Nera begitu berapi-api meski sambil sesenggukan. Heza memandang sekitar, berharap tak ada yang melihat mereka. Agak apes, karena satu-dua orang, juga beberapa anak kecil, ada yang memperhatikan dari jauh. Heza tersenyum kecut. Pasti ia akan dikira membuat nangis anak perempuan. Kutipan yang ia lihat bertahun lalu ketika baru masuk SMP terngiang.

Lelaki yang membuat perempuan menangis adalah lelaki berengsek. Lepaskan, lupakan, ia tak pantas untukmu yang berharga.

Heza menghampiri Nera, berjongkok di depannya.

Behind Your SketchesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang