29. Kisah

27 7 0
                                    

Aku mau pergi saja.

Heza terdiam beberapa lama, berusaha mencerna.

"Ke mana?" Akhirnya, itu yang keluar dari mulut Heza.

"Ke mana pun, asal enggak lagi dekat dengan siapa-siapa."

Heza menelan ludah. Jelas sekali ada sesuatu yang menimpa Nera. Ada yang memicu traumanya.

"Tapi aku enggak mau kamu pergi, Ner."

"Percuma. Omonganku yang dulu semuanya bohong ternyata. Pikiran burukku tetap ada, mau ada kamu atau enggak. Kamu enggak ada efeknya. Kamu enggak berguna buatku."

Nyessss.

Sungguh, Heza merasa hatinya seolah ditusuk ribuan pisau mendengarnya. Nera berkata dengan suara yang amat judes. Aneka memori berkelebat di kepala Heza, seolah memutar kenangan manis akhir-akhir ini.

"Kukira, kamu akan membuatku lebih baik. Ternyata enggak. Aku malah merasa buruk sekarang. Sangat buruk." Nera masih terus meracau. "Kamu bilang kamu sudah memaafkanku, 'kan? Termasuk aku yang ingin memanfaatkanmu. Aku enggak akan minta maaf lagi. Kuharap, mulai sekarang, kamu membenciku saja. Seperti yang biasa orang lain lakukan padaku. Kamu enggak spesial buatku."

Tangan Heza gemetar hebat. Belum apa-apa, ia sudah merasa diserang berkali-kali. Inikah sakitnya ditolak? Bukan hanya ditolak, melainkan juga diremehkan.

Dan Heza tahu, Nera sama sekali tak bermaksud melakukan itu. Kalau tidak, mengapa air mata tetap luruh dari matanya? Nera bahkan tidak mengusapnya sama sekali, seolah membiarkan air matanya menderas. Nada suaranya memang judes, tetapi dibuat-buat. Ada penyesalan yang teramat dalam di sana.

"Nera—"

"Jangan bicara padaku lagi. Benci saja aku, seperti seharusnya orang memperlakukanku." Nera memotong sengit. Ia kini berpaling ke jendela, seolah tak membiarkan Heza melihat ekspresi kesedihannya.

"Nera—"

"Jangan!"

"Nera!"

Nera tersentak karena ada yang memegang kedua bahunya. Ia langsung kaku, bahkan air matanya berhenti menetes.

"Tega kamu ngomong kayak gitu ke orang yang lagi pemulihan!"

Nera menelan ludah, mendadak tegang.

"Kalau aku memang harus benci, aku bakal kesal sama kamu karena hal itu. Dasar enggak tahu diri!"

Nada suara itu ... sama sekali tidak mengancam. Justru menyimpan tawa dan kesenangan, seolah orang yang mengajaknya bicara sedang bercanda.

"Bodo amat kalau aku enggak spesial atau enggak berguna buatmu. Tapi, kamu tahu, hei?"

Nera dipaksa berbalik. Langsung ia lihat ekspresi lelaki itu: tersenyum yakin dengan lesung pipi di sebelah kiri. Mata yang bersinar tajam. Bukan hanya itu, kedua tangannya mencengkeram bahu Nera erat.

"Kamu spesial buatku. Aku suka kamu bukan cuma dari sikapmu. Aku benar-benar suka sama kamu, bukan cuma sekadar teman."

"Hah?" Nera langsung melongo. Ia benar-benar tampak seperti orang bodoh. Paling tidak, itu yang ada di pikirannya.

Heza melepas kedua tangannya, berdeham salah tingkah. Wajahnya kini merah padam. Ia batuk beberapa kali sampai tiba-tiba mengernyit dan menekan dadanya. "Ah, aku terlalu maksa." Ia nyengir ke arah Nera sebelum kembali ke kasurnya dan meringkuk di sana.

Ahahah, aku confess, dong! Heza menertawakan dirinya sendiri dalam hati. Benar-benar bodoh, tetapi ia tak tahu harus bicara apa lagi. Ia tak mau benci Nera. Bukan hanya itu, ia ingin menunjukkan bahwa Nera tak layak dibenci. Apa salah dia? Nera hanya menggambar. Firasat buruk pun bukan kemauan Nera. Apa yang salah? Karena dia tidak sengaja menggambar masa depan? Karena dia tidak memberi peringatan?

Behind Your SketchesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang