4. Sketsa

58 12 19
                                    

SMP berlalu begitu saja.

Saat wisuda, tiga serangkai itu berfoto bersama. Mereka pun ingin mencoba masuk SMA yang sama, SMA negeri unggulan yang tak terlalu jauh dari SMP mereka. Namun, hasil memang tak selalu sesuai rencana. Yosi berhasil masuk melalui jalur prestasi. Sayangnya, Heza dan Syafa terpaksa mengandalkan zonasi–dan berujung gagal. Mereka berdua satu sekolah yang terletak di tengah-tengah kawasan rumah mereka.

Sehari setelah wisuda, tiga orang itu masih sempat-sempatnya janjian.

"Hezz, titip dia ya." Yosi menatap Heza tajam. "Jangan sampai diembat, sama kamu apalagi."

"Hei, udahlah! Jangan galak-galak!" Heza jadi tegang, padahal sebelumnya ia ingin tertawa saja. "Tenang aja Sob, aku bakal awasin dia, kayak dia ngawasin aku biar enggak bandel lagi, hahaha."

"Mencemaskan," gerutu Yosi. "Tapi, aku percaya. Kamu 'kan cari si Nera siapalah itu."

"Ssssh!"

"Kalian ngomongin apa?" Syafa muncul tiba-tiba sambil nyengir. "Jajan gelato, yuk! Kayaknya seger."

Heza sengaja melambatkan langkahnya, membiarkan dua orang itu berjalan lebih dulu di depannya, bersebelahan, sambil mengobrol. Heza menghela napas. Itu yang sudah ia lihat sejak kelas 7, ketika ia baru kembali dari kantin setelah sebelumnya membuat drama dengan Keira. Yosi, pada Syafa. Laki-laki itu sudah cukup bersabar sekian lama, mendengar curhatan Syafa soal laki-laki kelas sebelah gebetannya—yang Yosi sebut si doi. Cukup pula bersabar ketika Syafa benar-benar pacaran, hingga akhirnya sempat meledak saat Syafa putus. Padahal, Syafa tidak menangis, justru perempuan itu tersenyum, seperti sifatnya yang seperti batu karang selama ini. Tetap saja, bagi Yosi, itu tidak adil.

Ah, sudahlah. Pun lagi-lagi sekarang Yosi harus bersabar karena sekolah mereka berbeda, dan justru Heza yang bersama Syafa. Heza menghela napas. Yosi harus percaya padanya. Lima belas tahun hidup, Heza tak pernah naksir perempuan. Beneran, Heza 'kan hobi bikin anak orang nangis.

"Hejaa!" panggil Syafa. "Kok bengong?"

"Eh?" Heza memang bengong. Ia nyengir gugup dan buru-buru mengejar dua temannya. "Sorry, cuma kebayang beberapa hal."

"Yang nanti biarlah diurus nanti!" seru Yosi.

"Tenang aja, Ja, aku bakal tetap bantu kamu cari Nera, sebagai bayaran perubahan sikapmu." Syafa nyengir lebar.

Mereka menghampiri kedai gelato dan kembali mengobrol setelah memesan. Namun, Heza kebanyakan diam.

SMA. Ia akan bertemu anak-anak baru. Pasti akan ada anak perempuan yang belum pernah kutemui sebelumnya ... haruskah kucari tahu satu per satu? Gimana caranya?

"Ngomong-ngomong ...."

Perkataan Heza menginterupsi obrolan Yosi dan Syafa.

"Apa?" Keduanya kompak bertanya.

Sebenarnya, Heza tak sengaja bicara. Ia keceplosan karena pikirannya sejak tadi berkelana. Ia jadi gugup. Awalnya, ia mau bilang, kalau aku bikin nangis anak orang lagi gimana? Namun, sebelum kalimat itu yang keluar, ia buru-buru menyambung, "kalian berdua cocok."

Yosi tersedak, Syafa mendelik.

"Apa?!"

****

Tak lama setelah wisuda SMP, Heza ikut orang tuanya ke sekolah asrama Ayne, karena kakaknya wisuda. Sekaligus juga menjemput Ayne demi persiapan UTBK. Ayne memang rutin pulang tiap liburan, tetapi Heza tetap tak sabar ingin bertemu kakaknya yang sudah lulus SMA dan hendak masuk kuliah. Apakah ini perasaan tiap adik pada kakaknya? Entahlah. Yang jelas, Heza bangga pada kakaknya.

Behind Your SketchesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang