26. Menghindar

18 7 0
                                    

Meski Heza mengatakan bahwa ia tak akan mengecap Nera sebagai anak sial dan tetap mau berteman dengannya, Nera masih merasa janggal. Ia kepikiran dengan kata-kata Ayne.

Mungkin, kamu orang yang dia cari selama ini.

Bagaimana bisa Heza memimpikan dirinya, ketika bahkan mereka sama sekali belum pernah bertemu? Nera? Nera yang mana? Ada banyak Nera di dunia ini, bukan? Namun ... Nera yang mungkin dulu tinggal di rumah Heza sekarang, hanya dirinya.

Tak bisa dipungkiri, Nera memang merasa jauh lebih lega. Namun, hal itu tidak menghilangkan pikiran buruk seutuhnya. Ia masih merasa, dirinya yang terlalu dekat dengan orang lain akan membuat mereka celaka. Nera harus menjauh. Bagaimana caranya?

"Kenapa juga Heza mencariku?" keluh Nera. "Apa jangan-jangan, dari awal ... tiap aku tanya, 'kenapa aku', jawaban sebenarnya karena ... dia mengira aku orang yang ada di mimpinya?"

Nera malu sendiri setelah berpikir demikian. Geer betul! Kalaupun ya, ada koneksi apa di antara mereka? Apa karena menempati kamar yang sama?

Oh, soal rumah Heza. Mungkin, Nera bisa menanyakan ke biciknya.

****

Malam itu, lepas makan malam bersama Asma dan satu sepupunya, Nera memberanikan diri bertanya.

"Bicik, Apa Bicik benar-benar enggak ingat di mana dulu aku tinggal pas di Jakarta?"

Asma agak terkesiap, kemudian ia berdeham. "Bicik enggak hafal alamatnya. Kenapa? Apa awak akhirnya mau cari tahu?" Asma sudah lama tinggal di Jakarta. Meski begitu, kalau bicara, ia sering tak sadar tercampur dengan logat atau bahasa Palembang.

"Lo, aku memang mau cari tau dari awal, kok."

Asma tersenyum kecil. "Yakin?"

Pertanyaan itu sudah cukup menyentil Nera.

"Nera, awak tahu kenapa akhirnya awak boleh tinggal sama Bicik? Karena Bicik dipercaya setelah dianggap sudah kaya. Kenapa? Mereka takut kamu tiba-tiba kumat dan butuh perawatan segera. Tapi itu memang sudah kesepakatan kami biar kamu bisa menerima pelan-pelan."

Nera mengangguk. Mungkin, keluarga besarnya sudah lelah dengan pertanyaan Nera soal orang tuanya yang hilang rimba. Sudah memutuskan supaya Nera bisa menerima kenyataan yang membuatnya lupa ingatan sebagian.

"Rumah lamamu ... harusnya, enggak jauh di sekitaran sini. Bicik bakal tanya alamat lengkapnya ke yang punya, kalau ada. Kenapa?"

"Aku merasa, aku udah nemu."

"Apa?!" Asma memelotot. "Di mana?"

"Rumahnya Heza."

Asma tambah memelotot. "Apa yang bikin kamu merasa begitu?"

"Enggak tahu. Aku dari dulu memang perasa." Nera menunduk. "Rasanya ... sangat familier. Heza juga nunjukin sesuatu. Coretan di tembok, dan aku merasa kenal."

"Ah ... hah? Heza tahu?" Asma sampai mencengkeram pinggiran meja.

"Bicik, maaf," gumam Nera. "Di luar keluarga besar, izinkan aku memberi tahu soal ini ke satu orang lagi, ya?"

"Siapa? Heza?" Asma sepertinya terlalu syok sampai gelagapan dan tidak memikirkan kosakata lain.

Nera mengangguk. "Aku merasa, dia perlu tahu. Tapi ...."

"Tapi?"

Nera menelan ludah. Matanya tiba-tiba terasa panas. "Dia ... mengalami hal itu."

"Hal itu?" Asma sejak tadi membeo.

Behind Your SketchesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang