31. Kembali Bersekolah

29 7 0
                                    

Karena kejadian sore itu, berhari-hari Heza tanpa sadar memandangi tangannya.

Nera memegang lengannya. Mencengkeramnya, seolah butuh pegangan. Dan Heza ... apa yang Heza lakukan? Tangannya benar-benar refleks bergerak, melihat ekspresi khawatir perempuan itu tepat di depan matanya.

Nera duluan! Bukan aku! Batin Heza menjerit-jerit. Aku jadi enggak sadar, 'kan?

Heza jadi takut sendiri untuk membalas pesan dari Nera. Takut kumat, katanya. Takut jantungnya menggila. Takut mendadak kasmaran–padahal ia selalu kasmaran, akhir-akhir ini.

Hari Sabtu pagi itu, lima orang berkumpul di rumah Heza. Heza sendiri juga sudah merasa jauh lebih segar. Karena itulah, ia merasa dirinya siap menerima "pelajaran" apa pun yang akan diberikan temannya.

"Baiklah, chapter satu. Subjek: cinta," ujar Derina, membuat Syafa tertawa sampai terbahak-bahak.

"Bisa berhenti ngeledek gitu, enggak?" keluh Heza. "Aku lagi rajin dan mau mengejar ketertinggalan, nih!"

Yosi berdeham. "Untung kurikulum kita sama, jadi aku bisa nyambung kalian ngomongin apa."

"Kurikulum beda pun kamu pasti bisa," sahut Heza.

"Oke. Pertama ... Heza, kamu jadi bahan omongan guru-guru," ujar Syafa. "Aku yang enggak sekelas sama kamu aja sampai dengar."

"Hah? Artis emang selalu diomongin." Heza langsung bergaya.

Sontak Yosi, Syafa, Evan, dan Derina ber-hiss. Hanya Nera yang terkikik.

"Bukan ngomongin hal baik, lo." Evan berdeham. "Kamu jadi contoh buat ... jangan naik motor di jalan besar! Udah tahu enggak punya SIM."

"Waduh," sahut Heza sambil menggaruk kepalanya. "Yah, enggak papa, deh. Ini juga pelajaran buatku juga, 'kan." Ia menoleh ke Nera, karena merasa anak perempuan itu menggumam-gumam.

"I-ini salahku. Kalau enggak, Heza enggak akan–"

"Udah!" Ingin rasanya Heza mengguncang bahu Nera, tetapi ia masih bisa menahan dirinya. Kalau tidak, ia takut kelepasan seperti kemarin. "Kamu ngomong gitu lagi, bakal kujebret!"

"Jebret itu diapain?" Derina melongo.

"Itu, Der. Dibekep pake–"

Ucapan Syafa berhenti karena Heza memberi gelagat akan meninjunya.

"Ya udah. Heza, udah lihat grup kelas, 'kan?" Evan berusaha bersikap normal. "Firda bikin list tugas lagi, tuh. Kita cicil aja sekarang."

"Terus mereka ngapain?" Heza menunjuk Syafa dan Yosi.

"Tugasku mirip-mirip kalian, tahu," gerutu Syafa.

"Ah, masa?"

Heza ini, baru sembuh sudah badung.

"Kalau enggak boleh nugas, aku minjem akun Netflix!" seru Syafa gusar. Ia mengaduh karena Yosi menimpuknya menggunakan tempat pensil.

"Iya, iya, Yos. Aku belajar, nih." Syafa merengut sambil membuka-buka asal sebuah buku.

Setelah beberapa menit ribut, akhirnya mereka bisa mengerjakan tugas dengan cukup tenang. Sesekali Rosa muncul, membawakan minuman atau kudapan. Heza yang hendak membantu langsung dilarang. Kata Rosa, jangan banyak tingkah.

"Tingkah apanya?" Heza tak terima.

"Hus, nurut aja kenapa, sih?" Derina menggerutu.

"Enggak papa, Heza. Itu tandanya ibumu perhatian sama kamu."

Ucapan kalem yang terakhir itu dari Nera. Heza langsung menurut. Namun, sikapnya itu membuat Derina jadi gregetan.

"Emang ya, yang didengerin Nera doang. Aku mah apa!"

Behind Your SketchesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang