18. Kepanikan

29 8 0
                                    

Brak!

Empat orang yang ada langsung menoleh.

"Sya-Syafa! Derina!"

Heza terengah-engah saat tiba di ruang tamu. Ia kaget dan panik luar biasa. Ditambah, perasaan bersalah perlahan merayapi hatinya.

Aku memang bego!

"Ke-kenapa?" Syafa langsung bersiaga. Ia kaget, apalagi ia tak pernah melihat Heza dengan eskpresi seperti itu.

"Tolong ... Nera!"

"Nera kenapa?" Derina turut berdiri. Ekspresinya mengeras.

"Eng-gak tahu, tiba-tiba ...." Lutut Heza gemetar hebat, makin lama makin lemas hingga ia tiba-tiba jatuh berlutut.

"Ja?" Yosi langsung bangkit, disusul Evan. Mereka menghampiri Heza, keheranan. "Apa yang terjadi?"

Heza hanya memberi isyarat ke arah kamarnya, lalu menatap Syafa dan Derina bergantian. Meminta mereka mengeceknya. Dua anak perempuan itu berpandangan sebelum akhirnya mengangguk dan berlalu dengan langkah cepat.

"Nera ... enggak punya penyakit bawaan, 'kan?" tanya Heza patah-patah setelah itu.

"Mana kutahu?" sahut Yosi. Wajahnya mengkal.

"Kamu 'kan yang paling dekat?" sambung Evan. Ekspresinya keheranan.

"Nera?!" Pekikan kaget terdengar dari kamar Heza, membuat Yosi dan Evan turut menoleh.

"Nera kenapa?" tanya Evan pelan.

Heza bangkit perlahan, lalu berjalan ke kamarnya, diikuti dua teman lelakinya.

"Harusnya aku masuk PMR," ujar Syafa datar begitu melihat Heza.

"Kamu apain dia?" tanya Derina, tetapi nadanya tidak tajam. Justru suaranya gemetar.

Dua anak perempuan itu sudah membenarkan posisi Nera yang sebelumnya nyungsruk begitu saja. Mereka membaringkan Nera di atas karpet, meminjam bantal Heza untuk menjadi bantalan di bawah lututnya.

"Kenapa dia ke kamarmu? Kapan?" tanya Syafa pelan.

"Nah, kukira dia ngobrol sama kalian di ruang tamu." Heza duduk bersila. Ia sudah lebih tenang dari sebelumnya. "Aku cuma mau ambil minum buat kalian." Ia menunjuk teko yang baru ia isi penuh tadi. "Tahu-tahu dia muncul di sini, dan ...."

Semuanya hening, menunggu.

"Dan ... jatuh?" Heza mengernyit sendiri. "Apa dia ... punya penyakit bawaan?" Ia mengulang pertanyaan yang sempat ia gumamkan tadi.

"Enggak tahu. Dia jarang cerita." Derina menunduk sebentar, lalu mengangkat wajah. "Heza, minta air putih."

"Di gelas? Botol? Pakai sedotan?" Heza langsung memberondong dengan pertanyaan.

"Euh ... gelas aja, deh." Derina jadi linglung sendiri.

Heza bangkit dan berjalan ke dapur. Ia lagi-lagi nyaris berteriak karena ternyata Yosi mengikutinya dari belakang diam-diam.

"Ngagetin!" seru Heza muntab.

"Ja, aku mau nanya sesuatu." Yosi bersedekap. "Aku baru ketemu Nera sekali pas di mal, sih, jadi aku enggak bakal sok tahu tentang dia. Tapi, pas dia nyusul kamu ke kamar, apa kamu nunjukin gambar itu?"

"Gambar ... itu? Ya, aku niat nunjukin, tapi ..." Heza mendadak tegang.

"Apa dia teringat sesuatu?" Yosi masih mengejar.

"Euh ... dia bilang, dia merasa kenal sama tempat ini, tapi lupa ...?"

Yosi menghela napas. "Nanti aja aku ngomongnya. Cuma asumsi."

Behind Your SketchesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang