Heza membeku, Nera apalagi.
Seruan panik terdengar. Serombongan orang berlarian dari arah kantin. Beberapa lagi sibuk melongokkan kepala dari tempat masing-masing, penasaran. Guru-guru berkasak-kusuk, beberapa heboh keluar dari ruang guru. Murid-murid berkumpul. Hanya satpam yang paling logis.
"Jangan ditonton saja! Telepon pemadam kebakaran!" seru satpam sambil sibuk menekan-nekan nomor ponselnya.
Suara gemeretak di sore hari itu mendadak membuat kekaosan. Api tampak menjilati atap kantin yang terbuat dari seng. Sementara itu, salah satu OB sudah berlari membawa alat pemadam kebakaran ringan, yang lainnya sibuk menyalakan keran dan mengarahkan selang.
"Ner?" Heza yang sempat membeku mencoba memanggil orang yang ada di sampingnya. Ia kaget ketika menoleh dan mendapati Nera benar-benar seperti patung.
"Ner?" Heza seketika panik. Ia melambaikan tangan di depan mata Nera. "Nera, sadar! Ini enggak seburuk itu!"
Letak sekolah mereka memang tak terlalu jauh dari posko pemadam kebakaran. Tak perlu waktu lama sampai suara raungan sirene terdengar dan selang-selang diarahkan ke bangunan kantin–gedung sekolah, lebih tepatnya.
Heza gregetan. Ia akhirnya meraih pundak Nera dan setengah menyeretnya ke tangga. Beruntung, letak kelas mereka cukup berjarak dari kantin. Paling tidak, mereka selamat dari api–juga air yang mendadak tersembur dari segala sisi.
Tak butuh waktu lama sampai semuanya terkendali.
"Ah ... hah ...." Nera masih tersengal. Sepertinya, ia benar-benar menahan napas selama mematung tadi. "Apa ... yang sebenarnya terjadi?"
"Kamu pingsan apa gimana?" gerutu Heza. Ia membawa Nera ke deretan bangku dekat tangga. Tempat itu cukup sepi, kecuali jika ada yang berkepentingan ke ruang OSIS–ruang kegiatan siswa yang terpisah sendiri dari ekskur lainnya.
"Aku ... aku mendadak ... tadi siang ...." Nera tergagap, tampak masih amat syok.
"Pelan-pelan ... aku dengar, kok." Kali ini, Heza yang menepuk-nepuk bahu Nera. Sebenarnya sih maunya tepuk-tepuk kepala.
"Ehm ... Heza?"
"Ya?"
Heza terkesiap ketika melihat mata gadis di hadapannya berkaca-kaca.
"Aku mau ngomong bentar ... habis itu, aku pergi." Nera menggenggam tali tasnya erat. Ia menunduk. Bahunya gemetar.
Sungguh, Heza ingin menenangkannya.
"Tadi siang." Nera menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Tadi siang, pas aku belum sempat jajan, sebelum aku merasakan itu ... ah, langsung aja, deh!" Nera tampak frustrasi. "Sprinkler di kantin lagi rusak. Habis itu ... aku ... melihat ledakan."
"Melihat?" ulang Heza.
Nera mengangguk pelan. "Melihat. Atau membayangkan. Entah. Pokoknya, aku langsung cari kamu."
"Kamu belum makan siang?" Heza malah fokus ke sana.
"Bukan ... bukan itu!" Nera mengepalkan tangannya. "Kamu enggak merasa aneh, Heza? Aku ... aku yang salah. Aku ini salah. Maaf. Ke kamu juga aku salah!"
"Apa?" Untuk kali ini, Heza sungguhan tidak nyambung. Tulalit.
"Maaf, soalnya ... sudah ngomong banyak hal ke kamu. Sudah percaya kamu. Dan sudah menarikmu ... ke dalam masalahku ...."
"Uh, kumaafin?" Heza menggaruk kepalanya.
"Perkiraanku salah. Mau aku bahagia atau enggak, akhirnya, yang terjadi adalah kejadian jelek juga." Nera menggigit bibirnya. "Habis ini, mungkin, kamu lupakan saja soal yang pernah aku bilang selama ini. Lupakan soal permintaan dan janji. Aku salah dari awal." Nera bangkit berdiri, lalu membungkuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind Your Sketches
Teen Fiction[First draft; completed] [TOP #2 MWM NPC 2022] Sejak kecil, Heza si lelaki ceria penasaran dengan coretan yang ada di kamar rumah barunya. Kesamaan yang ia lihat tanpa sengaja di buku gambar Nera, teman sekelas SMA-nya, membuat Heza mendekati gadis...