Heza sudah tak lagi memikirkan gambar di sudut kamarnya. Selain mulai sok sibuk membalas chat teman SMA dan mabar—main bareng, ia juga memikirkan bagaimana caranya supaya bisa lebih dekat dengan Nera.
Hari kedua masuk resmi, Heza mulai santai. Ia kini bisa tertawa dengan Evan dan anak-anak lelaki lainnya. Ia mulai bisa mengenal nama-nama anak satu kelasnya tanpa membuat insiden apa pun, apalagi dengan anak-anak perempuan. Dan ia juga mulai dikenal karena tingkahnya, termasuk bagaimana ia sok cari perhatian dengan kakak-kakak kelas yang memandu jalannya MPLS di kelasnya. Asal tahu saja, jalannya ospek di SMA swasta ini tidak semengerikan itu. Memang ada hari ketika para anak baru disuruh membawa aneh-aneh dan melakukan hal yang konyol, tetapi tak ada kekerasan di sana.
"Buat penampilan nanti, Heza jadi center lah ya?!" Elena, salah satu penanggung jawab kelas, memanas-manasi. "Atau apa pun, pokoknya aku mau lihat dia jadi tokoh utama!"
"Kak, why?" seru Heza dengan gaya yang dilebih-lebihkan. "Saya 'kan kalem!"
"Kalem palamu!" tandas Evan.
"Woooo Heza!" satu kelas ikut bersorak.
Heza garuk-garuk kepala. Dari dulu, tingkahnya memang memancing perhatian dan membuatnya mau tak mau menjadi tenar.
"Emang mau bikin penampilan apa?" Akhirnya Heza bertanya, meski dengan tampang bodoh.
Untuk penutupan pekan MPLS, panitia memang merancang pertunjukan yang diadakan oleh masing-masing kelas 10. Pertunjukan apa pun dibebaskan, asal tidak melanggar aturan ataupun norma-norma ... yah, tahu sendirilah.
"Drama, kamu 'kan Drama King," ucap Devi asal.
"Enggak! Enggak bisa akting aku, ogah!" Heza mendelik ke anak yang duduk di seberangnya itu.
"Enggak usah akting, kali!" sahut Devi sengit. Anak yang ditunjuk menjadi sekretaris kelas itu tampaknya jadi darah tinggi karena duduk berseberangan langsung dengan Heza.
"Flashmob yang awalnya drama," ujar Ilyas sang ketua kelas dengan sangat kalem. Meski begitu, cara bicaranya yang tenang justru membuat perhatian satu kelas teralih padanya.
"Heza tetap center," lanjut Ilyas, kali ini disertai cengiran.
"Kamu menimpakan beban ke aku!" seru Heza.
"Enggak, enggak, ini beban buat sekelas." Elena berseru agak melengking, karena Heza terlalu ramai memprotes.
"Ya, bener, sih. 'Kan yang wajib hafal gerakannya itu Heza." Devi bersedekap, melirik orang di seberangnya.
"Diam kamu!" Heza malah tambah emosi.
"Oke, waktunya tinggal lima menit lagi!" Elena menepuk tangannya sekali. "Ide fix-nya apa, guys? Kalau belum, besok masih bisa diomongin lagi. Kalian punya sisa waktu ... hmm ... tiga hari buat nyiapin."
Setelah acara di kelas, mereka akan diarahkan ke ruang audio visual–disingkat avis, yang biasa menjadi tempat berkumpul atau aula. Ruangan aula kedap suara itu sangat besar, cukup untuk menampung satu angkatan yang terdiri dari enam kelas–tiga IPA, tiga IPS, dan masing-masing berjumlah murid maksimal 30 orang. Namun, tidak cukup untuk menampung keseluruhan murid sekolah itu.
"Van, Van, kalau besok aku dipaksa tampil paling depan, kamu bakal kugeret!" ancam Heza yang masih saja sebelahan dengan Evan di ruang avis.
"Enak aja! Kenapa aku yang kena?" Evan sontak menolak.
"Nah! Kalau enggak mau kena, cariin ide yang bikin aku enggak perlu maju paling depan!" Heza berbisik keras, karena sang MC di depan mulai mengambil alih atensi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind Your Sketches
Teen Fiction[First draft; completed] [TOP #2 MWM NPC 2022] Sejak kecil, Heza si lelaki ceria penasaran dengan coretan yang ada di kamar rumah barunya. Kesamaan yang ia lihat tanpa sengaja di buku gambar Nera, teman sekelas SMA-nya, membuat Heza mendekati gadis...