Sepekan yang lalu, tindakan nekat seorang pemuda berhasil membuat gempar seantero sekolah. Dari berita yang kudengar, pelaku tertangkap merekam aktivitas para siswi dari celah pintu toilet. Entah bagaimana caranya menyelinap masuk ke sana. Yang jelas, gara-gara kejadian itu murid-murid perempuan mulai takut ke toilet sendirian.
Bukan hanya itu. Selang tiga hari setelahnya, dua orang siswi terlibat perkelahian hebat di koridor sekolah. Mereka saling dorong, saling melemparkan makian, hingga kekerasan fisik dan verbal pun tak dapat dihindarkan.
Temanku Nunna bilang, penyebabnya adalah sebuah permainan. Permainan pembawa petaka yang mengharuskan si pemain melakukan tantangan-tantangan tak biasa. Padahal kalau aku jadi mereka, aku akan memilih jujur agar hidupku berjalan baik-baik saja.
Tidak perlu mempertaruhkan harga diri demi menjaga ego yang setinggi langit. Atau akibatnya akan membuat dirimu sendiri sulit.
Harusnya kukatakan itu pada diriku sendiri, sebelum moncong botol bekas itu berhenti tepat di depanku, menunjuk tanpa ragu–lagi.
"Oke, dare."
Sungguh, aku tidak berniat mengingkari kata-kataku tadi. Aku memang selalu memilih truth. Terhitung sudah tiga kali menjadi incaran botol sialan itu, aku benar-benar memilih jujur.
Aku menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang mereka lontarkan dengan apa adanya. Meski kadang pertanyaan seputar, "Siapa yang lagi lo sukai?" "Siapa orang yang lo benci di kelas ini?" atau yang paling konyol lagi, "Ayah lo pernah selingkuh, nggak?" membuatku harus terdiam lama, tapi aku tidak pernah mengada-ada.
Namun, ketika putaran botol berada di akhir jam istirahat, Nunna mendesakku agar mengambil dare. Gadis minim senyuman itu mengatakan jika sesekali aku perlu sesuatu yang menantang supaya hidupku lebih berkesan.
Terdengar tidak waras memang.
Sialnya, di saat-saat seperti itu aku baru menyadari betapa menggangunya perasaan tidak enakan yang kupunya. Aku terlalu takut menolak. Aku terlalu takut melihat raut kecewa dari Nunna. Semacam ada beban berat yang menggantung di benakku, membuatku kehilangan kuasa atas diriku sendiri.
"Lo harus pacaran sama Regasa selama tiga bulan."
Aku terperangah, memandang Nunna tak berdaya.
"Sinting lo, Nun! Kita tau Luna suka sama Rega, tapi nggak nyuruh mereka buat pacaran juga. Lagian Luna tuh anak strict parents, mana mungkin diizinin pacaran. Yang ada dia diusir dari rumah," sembur Fatya sebelum aku berhasil membuka suara.
Selanjutnya, aku merasakan sebelah tanganku ditarik agak kasar. Saat aku menengadah, kutemukan Fatya telah beranjak dari duduknya. Cewek berpipi gembil itu masih memegangi tanganku, ingin mengajakku pergi. Padahal lonceng pertanda selesainya jam istirahat telah nyaring berbunyi.
"Ayo, Lun." Mendapati keterdiamanku, Fatya berusaha menarik lebih keras, membuatku mau tak mau ikut berdiri. "Jangan bilang lo mau ngelakuin tantangan bodoh dari Nunna?" lanjutnya, seakan bisa membaca isi pikiranku.
Bukan bermaksud mengabaikan pertanyaan Fatya, hanya saja mendadak lidahku terasa kelu. Suara-suara yang berseliweran di kepalaku pun seolah terperangkap di dalam sana. Teredam. Tidak menemukan celah untuk keluar. Alhasil aku hanya bisa menunduk kaku di sampingnya.
"Jawab, Lun!"
Aku tersentak. Tubuhku bergetar hebat mendengar bentakannya. Kujumpai wajah Fatya berubah merah padam saat aku menengadah. Selalunya Fatya langsung pergi meninggalkan perdebatan untuk mencegah emosinya terpancing. Tapi kali ini tidak. Perempuan itu bertahan mencengkeram tanganku, membuat nyaliku bertambah kerdil di tengah wajah-wajah penasaran murid lain yang baru saja memasuki kelas.
"Kalo iya emang kenapa? Lo sendiri pacaran kan, Fat? Jangan egois gitu, dong. Biarin Luna juga menikmati masa mudanya," imbuh Nunna seraya menyentak lengan Fatya, membebaskan tanganku yang memerah dari cengkeramannya.
Fatya maju selangkah mendekati Nunna, meninggalkanku sendiri di belakang punggungnya. Cewek dengan rambut pendek mirip Dora itu perlahan menaikkan telunjuknya, mengarahkan persis ke depan hidung bangir milik Nunna.
"Lo nggak bisa sama-samain gitu, Nun. Gue sama Luna itu beda. Orang tua Luna sayang banget ke dia. Selalu peduli, diawasi setiap waktu, dijaga sepenuh hati. Gue? Gue bahkan ngerasa kayak nggak punya orang tua! Mama sibuk sama keluarga barunya, Papa sibuk ngurusin pekerjaannya. Gue jadi mulai meragukan ingatan mereka tentang gue." Fatya tertawa sarkas di akhir kalimatnya, mengundang rasa nyeri di jantungku yang bertalu.
Walaupun aku bukan Fatya dan tak pernah berada di posisi Fatya, tapi sedikit banyak aku mengerti bagaimana perasaannya. Sedih, bingung, kecewa, semua dia telan sendiri supaya tidak merepotkan orang lain. Yang ia tampilkan di depan kami hanya senyum cerah seolah dirinya baik-baik saja. Dia menipu dunia dengan sangat baik, sehingga tidak ada yang menyangka Fatya punya masalah sepelik ini.
Tak mau pertengkaran teman-temanku menjadi tontonan publik dan berakhir seperti peristiwa memalukan yang akhir-akhir ini terjadi, aku memberanikan diri menyela, "Fatya, Nunna, udah cukup!"
"Gue cuma nggak mau lo ngecewain orang tua lo, Lun!"
Aku menggeleng. Selaput bening sudah menumpuk di pelupuk mata, mengaburkan pandanganku. Namun, tak sekalipun aku mengalihkan tatap dari Nunna dan Fatya.
"Cuma tiga bulan, Fat. Setelah itu semuanya selesai," ucapku diiringi setetes air mata yang berhasil lolos kala aku mengedip cepat.
Nunna langsung menghampiriku. Ia sigap menyembunyikan wajahku ke dalam pelukannya. Kudengar ia juga mengusir siswa-siswi lain yang mengerubungi kami. Sampai suara seseorang kontan membuat isakanku terhenti.
"Ini ada apa, sih?"
Celaka, itu Rega!
✿✿✿
KAMU SEDANG MEMBACA
In Memories #Nupa
Teen Fiction"Cuma tiga bulan, Ga. Setelah itu, lo bisa lupain semua yang terjadi di antara kita." "Kenapa cuma gue?" "Karena gue nggak yakin bisa lupain elo." ✿✿✿ Kalau bukan karena permainan konyol itu, aku tidak akan mengingkari janjiku pada Ayah. Aku tidak a...