Nunna menghampiri mejaku tanpa melepas tatapan dari Fatya. Dia buru-buru membekap mulut Fatya supaya lengkingan suara gadis bermata sebulat kelereng itu berhenti memancing perhatian orang-orang. Terutama Rega, yang baru kusadari ikut menjadikanku atensi.
"Bisa diem, nggak?!" sembur Nunna. Rautnya mengernyit jijik setelah berhasil melepas tangan dari bibir Fatya. Sementara perempuan yang di maksud justru mencibir tanpa suara.
Aku menurunkan tangan yang kugunakan untuk menutup telinga, berganti mengemasi kertas dan alat gambarku yang berceceran di atas meja. Jangan sampai Nunna melihatnya atau dia akan bereaksi lebih dari Fatya.
"Lo kenapa teriak-teriak, sih?" Ia bertanya disela gerakannya membalik kursi lain agar kami saling berhadapan. Kini kami bertiga duduk mengelilingi meja belajarku, memulai perbincangan sembari menunggu Pak Anthony—guru mata pelajaran Geografi—mengisi kelas.
Awan kelabu masih menghiasi langit Nusa Harapan, mengantarkan hawa sejuk yang menyergap ke seluruh ruangan. Beruntung seragam olahraga memiliki lengan yang panjang, sehingga aku tidak begitu merasa kedinginan, seperti pemudi di sebelahku ini.
"Ya, terserah gue dong. Mulut-mulut gue juga," tukas Fatya kesal. Seperti biasa jika sedang merajuk, Fatya mengerucutkan bibirnya. Telapak tangan gadis muda itu digosokkan satu dengan yang lain guna mengurangi suhu rendah yang menerpa kulitnya. Untuk itu, aku meletakkan ransel ke pangkuannya. Berharap Fatya merasa lebih baik setelah memeluk benda tersebut.
Begitulah caraku berterima kasih. Bagaimanapun juga dia dan pacarnya telah menolongku tadi. Kalau tidak ada mereka berdua mungkin sekarang aku ada di balkon. Duduk seorang diri sambil melamun. Entahlah, aku hanya merasa sangat bersyukur mengetahui mereka masih peduli denganku.
"Thank's." Fatya berucap lirih yang kubalas dengan anggukan singkat. Kemudian dirinya membenarkan letak ranselku hingga benar-benar menutup rok abu di atas lutut itu.
Nunna yang tampak kurang puas dengan jawaban Fatya memilih menuntut penjelasan dariku lewat sorot matanya.
"Oh, tadi Fatya—" Namun penjelasanku harus terhenti saat Fatya terdengar menyapa ramah seseorang.
"Ga, mau kemana?"
Refleks mulutku terkunci rapat. Netraku pun ikut-ikutan membidik pemuda yang belakangan mendekam di dalam pikiranku itu dengan ragu. Ah, kenapa aku merasa sangat jauh dengannya? Padahal kami masih berada di satu kelas yang sama.
"Ngecek Pak Anthony." Dia berkata singkat, lalu kembali berjalan keluar kelas. Khas dirinya sekali. Orang-orang yang baru mengenalnya pastilah mengira Regasa sombong, padahal memang seperti itulah tampangnya. Datar dan kaku.
Aku pernah menjumpai dia terbahak kala bersama Aksa. Suara rendahnya terdengar bagai melodi indah. Dan ekspresinya, aku seakan sedang melihat para aktor Korea bercanda ria. Berlebihan? Kurasa tidak. Dia memang tampan kalau tertawa. Terlebih lagi kalau sedang tersenyum dengan taring yang mengintip malu-malu. Sumpah, dia tampan berkali-kali lipat!
"Ga, tunggu!" Nunna membalik tubuhnya, menghentikan langkah Rega yang sudah mencapai ambang pintu.
Perasaanku mendadak tidak enak. Bukannya mau berburuk sangka. Terakhir kali Nunna menghentikan Rega, perempuan itu berhasil membuatku berlari di antara derasnya hujan. Nunna dengan segala ide tak masuk akal di kepalanya memang patut dicurigai. Pasalnya ia senang sekali bertindak spontan dan melibatkan orang lain.
Melalui seringai licik di sudut bibirnya, aku tahu bahwa duniaku akan berhenti di detik selanjutnya.
Sebelum itu terjadi, aku sedikit menarik tangannya agar dia duduk kembali. Aku lebih ikhlas menjelaskan secara detail terkait mengapa Fatya berteriak daripada harus …
"Luna mau ikut katanya!"
Sialan!
Netraku membeliak nyaris keluar dari rongganya. Terlalu kaget dengan ucapan Nunna yang lagi-lagi diluar nalar manusia. Benar-benar tidak bisa diprediksi. Aku seperti tidak mengenali makhluk bernama lengkap Nunna Syelila ini.
Oh, ayolah. Apa sekarang dia mau aku memakinya?
Fatya yang pertama sadar situasi langsung menarik kasar tangan Nunna. Membuat sang terduga pelaku mengembuskan napas berat usai duduk di posisi semula.
Atmosfer sekitar perlahan membuatku gerah. Jantungku berdetak kencang di luar tempo ketika akhirnya tatapanku bertubrukan dengan Rega. Laki-laki yang berdiri di ujung pintu itu nampak santai saja. Menunggu satu dari kami bertiga melempar alasan ataupun penjelasan.
Aku sendiri tak mampu berkata apa-apa. Jangankan berlama-lama membalas sorot tajam Rega, menggerakkan satu jari saja rasanya berat. Jadi yang bisa kulakukan hanya menundukkan kepala. Menelan bulat-bulat rasa malu yang disebabkan oleh Nunna.
Senyap mendominasi. Beberapa murid yang tadinya memperhatikan interaksi kami, satu persatu mulai memusatkan atensi pada kegiatannya masing-masing. Meski penghuni kelas tidak begitu ramai, cenderung sepi—sebab sebagian pilih mendekam di kantin menikmati semangkuk bakso hangat—tetap saja aku merasa seakan menjadi pusat perhatian.
"Sorry, Ga. Maksud Nunna, kira-kira lo mau ditemenin, nggak? Ditemenin Luna, gitu, kan ya, Nun?" Fatya menjelaskan terbata-bata seraya mengeraskan rahang. Tanda jika saat ini ia sungguh-sungguh menahan amarah.
Selagi Nunna mengangguk ogah-ogahan, aku memberanikan diri mendongak, menimpali penjelasan Fatya agar terdengar masuk akal. "Iya, mungkin aja lo butuh ... bantuan?"
Rega mengerjap. Seolah menyadarkan dirinya sendiri yang agaknya kurang berkonsentrasi. Selanjutnya kepala Rega menggeleng. "Gue bisa sendiri."
Sejujurnya ini tidak terlalu menyakitkan. Aku sudah pernah diabaikannya. Aku juga sudah merasakan bagaimana duduk sendirian menunggunya untuk pulang bersama. Namun entah mengapa relung hati kecilku yang sangat rapuh ini terguncang hanya karena sebuah kalimat penolakan barusan.
Gue bisa sendiri.
Sialan, Nunna!
![](https://img.wattpad.com/cover/315356241-288-k782062.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
In Memories #Nupa
Teen Fiction"Cuma tiga bulan, Ga. Setelah itu, lo bisa lupain semua yang terjadi di antara kita." "Kenapa cuma gue?" "Karena gue nggak yakin bisa lupain elo." ✿✿✿ Kalau bukan karena permainan konyol itu, aku tidak akan mengingkari janjiku pada Ayah. Aku tidak a...