Kalau hanya tampan, kurasa banyak yang lebih tampan dari Rega di luaran sana. Baik? Terlalu klise rasanya menyukai seseorang karena kebaikannya. Lalu, apa yang membuatku begitu mengagumi Regasa Adhyaksa?
Jawabannya adalah karena dia murah hati. Di balik sosoknya yang kaku, irit bicara jika tidak perlu, serta selalu terlihat acuh tak acuh, ternyata Rega punya watak yang istimewa. Watak yang baru kusadari setelah hampir tiga tahun ini sekelas dengannya. Yang bisa jadi tidak semua orang miliki, yakni bertanggung jawab.
Aku ingat saat dia harus berhadapan dengan Pak Yoga sewaktu kami berdua tidak hadir di mata pelajaran beliau. Dia juga pernah membantuku mencari buku tugas dan mengantarkannya bersama ke meja Miss Hanna—yang ini mungkin karena terpaksa.
Sebenarnya bukan cuma itu. Ada banyak kejadian yang menunjukkan betapa bertanggung jawabnya Rega sebagai ketua kelas sekaligus siswa Nusa Harapan. Namun sayangnya, hanya satu yang lekat diingatanku. Yang agaknya menjadi cikal bakal aku mulai menyukainya.
Waktu itu jadwalku piket sepulang sekolah. Berbarengan dengan maraknya kasus Truth or Dare yang tidak biasa. Brian, siswa kelas kami yang terkenal sopan dan santun itu terlibat sebuah tantangan konyol. Kalau tidak salah, Brian tertangkap melakukan aksi tawuran bersama murid sekolah lain.
Tidak hanya berkelahi, mereka juga merusak fasilitas umum seperti halte bus sampai tiang penunjuk jalan. Akibatnya, mereka semua dibawa ke ruang BK. Rega selaku ketua kelas pun ikut terseret dan terpaksa menjadi saksi guna melindungi Brian yang merupakan seorang korban.
Dia membela Brian agar tidak di drop out dari Nusa Harapan. Bersedia memasang badan demi melindungi anggotanya yang melakukan kesalahan atas dasar keterpaksaan. Dan, ya. Dari sanalah awalnya aku mulai diam-diam mengagumi sosok Rega.
"Lun!"
Aku terkejut setengah mati diteriaki oleh Fatya. Jantungku seakan mau copot, detaknya amat kencang sampai-sampai aku harus menunduk sesaat guna meredakan denyutnya.
Ketika menengadah, netraku bertubrukan sebentar dengan manik cokelat gelap milik perempuan itu. Tanpa rasa bersalah ia tertawa-tawa di tempatnya. Untung arsiran penaku pada kertas tidak merusak bentuk gambar yang kubuat. Karena jika benar rusak, Fatya harus menggantinya detik ini juga.
"Lo ngelamun mulu, sih. Lagi mikirin Rega, ya?" tebaknya tepat sasaran. Seraya menarik kursi lain di dekatnya, Fatya mengulum senyum. Matanya sempat melirik-lirik jahil pada sketsa di atas meja. "Tuh 'kan ketauan."
Wajahku berusaha tidak berekspresi untuk meyakinkan Fatya jika dugaannya salah. Namun, semakin aku bersikap tak acuh, Fatya malah kian gencar meledekku. Santai dia mengambil kertas hasil goresan tanganku, lalu mulai meneliti sosok di dalam sana dengan sungguh-sungguh. "Ih, beneran Rega ternyata!" pekiknya kegirangan.
Kurebut paksa benda yang dipegang Fatya hingga kertas tersebut tampak kusut di beberapa bagian, kemudian melemparkan tatapan tajam bak laser ke arahnya.
"Bukan." Aku masih berupaya mengelak meski kedua pipiku mulai bersemu merah. Ronanya bahkan menjalar sampai ke telinga, menyebabkan rasa panas yang muncul tiba-tiba.
Oh, ayolah! Aku sudah cukup malu memakai seragam olahraga sendirian di antara teman sekelas, dan sekarang Fatya justru menambahinya dengan teriakan heboh menyebut-nyebut nama Rega. Bisakah kupindahkan saja dia ke Mars?
"Terus kenapa muka lo merah gitu? Malu, ya? Malu karena tebakan gue bener? Iya?" ejek Fatya habis-habisan.
Mataku terpejam sejenak, meningkahi Fatya yang terus-menerus menggodaku. "Fat, udah. Ini cuma gambar biasa yang sering gue buat, kok. Bukan siapa-siapa, apalagi Rega," jelasku, belum juga mau mengaku.
Fatya menyipit curiga seolah tidak percaya, tetapi detik selanjutnya kepala gadis itu mengangguk-angguk berlebihan. "Iya-iya, gue percaya."
Walaupun aku masih menyangsikan ucapan Fatya, aku tetap bersyukur karena dia tak lagi banyak bertanya. Begini lebih baik. Aku melanjutkan kegiatanku, sementara Fatya mengamati dalam diam.
Beberapa menit berselang, kami berdua masih sama-sama tak bersuara. Aku sendiri hampir menyelesaikan keseluruhan gambar close up seorang pemuda dengan kacamatanya. Tinggal membubuhi tanda tangan di sebelah puisi singkat milikku sebagai sentuhan akhir, dan sketsa pun siap dipajang di dinding kamarku. Bersanding dengan karya-karyaku yang lain.
Tapi mendadak niatku terhenti ketika Fatya berseru heboh. "Astaga, gue lupa, Lun!"
Aku kembali mengelus dada, kali ini dengan gerakan dramatis. "Jantung gue bisa sehat kalo diajak senam mulu sama lo, Fat," sarkasku.
Fatya meringis sambil menggaruk ujung alisnya. Dia kelihatan salah tingkah, lalu secepat kilat merubah ekspresinya menjadi serius. Ia menarik kursinya lebih dekat hingga kami duduk berdempetan.
"Gue mau kasih tau info tentang Rega," bisik Fatya tepat di telingaku.
Aku menoleh singkat ke samping kiri. "Yaudah, ngomong aja." Kemudian fokus lagi pada benda di depan mata.
Aku sudah tidak terlalu ambil peduli tentang apapun yang bersinggungan dengan Regasa Adhyaksa. Catat! Hanya tidak terlalu peduli, bukan tidak peduli sama sekali. Minatku yang ingin secepatnya menuntaskan tantangan ini berangsur menurun, bersamaan dengan seringnya aku menampakkan nilai minus di depan Rega.
Sekarang bagaimana pandangannya terhadapku, ya?
Fatya berdeham-deham tak jelas, membuyarkan lamunanku yang menduga-duga isi kepala Rega. Setelahnya ia memegangi penaku yang hendak bergerak kembali, membuatku mau tak mau mesti memusatkan perhatian untuknya.
"Menurut informasi yang gue dapet dari Aksa, ternyata Rega itu anaknya chef Suryo Adhyaksa. Itu loh, Lun, host acara masak-masak di tv yang tayang tiap weekend. Keren banget 'kan?" Senyum Fatya terkembang sempurna. Sorot gadis itu tampak antusias kala menceritakan Papa dari ketua kelasnya sendiri. "Gue juga baru tau, Lun. Gila, selama ini Tante Devi nyebutnya chef Suryo doang, pantesan gue nggak ngeh tiap diajakin nonton acaranya."
Chef Suryo Adhyaksa. Pria paruh baya bercelemek gelap yang acap kali tampil di tv itu benar-benar orang tua Rega? Laki-laki dengan senyum menawan serta berperawakan gagah laksana binaragawan itu memiliki putra bernama Rega?
Kenapa aku baru tahu setelah menekan ikon subscribe pada channel-nya? Dan kenapa aku baru tahu setelah mengikuti lebih dari 15 macam resep kue kering ciptaannya?
"Fat?"
"Kenapa? Lo kaget juga, kan? Haha … parah! Selama ini kita sekelas sama anak artis, Lun. Ini kalo Tante gue tau, udah dijamu ke rumah kali si Rega. Dikasih coba masakan Tante gue yang resepnya nyontek semua dari Bapaknya. Astaga, gue masih syok," ocehnya tanpa jeda. Sementara Fatya masih menetralkan napasnya yang tersengal, ujung mataku menangkap siluet anak dari chef yang baru saja kami bicarakan.
Rega terlihat memasuki kelas dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Kemejanya tetap rapi walaupun hari sudah menjelang sore. Sepintas dia sempat membalas tatapanku, sebelum mengedarkan pandangan ke arah lain.
"Gue salah satu penggemar berat Papanya," celetukku spontan.
Selanjutnya Fatya berteriak bagai orang kerasukan.
✿✿✿

KAMU SEDANG MEMBACA
In Memories #Nupa
Teen Fiction"Cuma tiga bulan, Ga. Setelah itu, lo bisa lupain semua yang terjadi di antara kita." "Kenapa cuma gue?" "Karena gue nggak yakin bisa lupain elo." ✿✿✿ Kalau bukan karena permainan konyol itu, aku tidak akan mengingkari janjiku pada Ayah. Aku tidak a...