[1.2]

122 117 43
                                    

"Gimana tugas lo? Udah dikumpulin?"

Aku mengangguk lesu seraya mengaduk segelas es jeruk yang dipesankan Nunna usai jam olahraga. Kini kami tengah berada di kantin indoor. Nunna mengajakku ke sini dengan alasan 'numpang ngadem'. Padahal aku tahu niatnya yang ingin menginvasi kipas angin hanyalah kedok untuk mengawasi target buruannya.

Target yang kumaksud adalah seorang siswi kelas sebelas IPS yang duduk selang tiga kursi di belakang Nunna. Nunna bilang dia sudah dua kali memergoki Ethan—pacarnya— dan cewek itu jalan berdua. Namun ketika ditanyai, Ethan beralasan bahwa dia dan si cewek sedang mengerjakan tugas kelompok sewajarnya sebagai teman sekelas.

Iya, Nunna berpacaran dengan adik kelas. Entah apa yang dilihatnya dari sosok Ethanio Bramanta itu. Di mataku, Ethan tak lebih dari seorang anak manja yang suka tebar pesona. Mendingan juga Rega kemana-mana.

Ngomong-ngomong soal Rega, dia ada di ruangan Pak Yoga sekarang. Tadi Nunna mengabarkan jika Rega harus segera menemui Pak Yoga. Mungkin itu ada sangkut pautnya dengan ketidakhadiran kami di mata pelajaran beliau.

Mau bagaimana lagi? Kami belum berganti pakaian sementara teman yang lain sedang mengelilingi lapangan. Selain itu, aku juga tidak berani pergi ke ruang ganti sendirian. Lantas dengan waktu yang tersisa, aku terpaksa menunggui Rega di depan kantor guru. Duduk sendirian sembari mengamati teman-temanku yang asyik bermain voli.

Hari ini cuaca panas sekali. Sengatan matahari rasanya perih membakar kulit. Untunglah aku absen pada pertemuan kali ini, jadi aku tidak terpapar sinarnya secara langsung. Walaupun begitu, bukan berarti aku tak kena dampaknya. Tubuhku tetap saja terasa gerah dan lengket akibat keringat yang terus mengucur deras.

"Lo kenapa lesu gitu, sih? Harusnya 'kan gue yang lemah, letih, lesu, lunglai sekarang. Mana tadi abis keliling lapangan, main voli, lari sambil narik-narik lo kesini, kebalik banget kalo sekarang lo yang ngerasa capek." Nunna mendengus sebal. Cewek keturunan asli Jawa itu kembali menyeruput es kelapanya, mengacuhkan keberadaanku.

"Nggak gitu, Nun. Gue cuma lagi kesel aja sama diri gue sendiri. Heran aja gitu, kok bisa-bisanya gue suka banget bertindak bodoh di depan Rega. Bukan kayak kebanyakan cewek yang bisa jaga image, kalem, anggun gitu. Gue lebih ke yang malu-maluin diri sendiri. Sumpah, gue pengin banget pindah ke Mars sekarang," keluhku.

Kudorong jauh gelas es jeruk yang tinggal setengah itu, lalu aku membaringkan kepala di atas tangan yang terlipat sembari terpejam. Berupaya mengusir seluruh reka adegan memalukan yang terus bergulir di pikiranku.

"Udahlah santai aja. Si Rega juga kayaknya nggak terlalu peduli."

Spontan punggungku menegak. Kata-kata Nunna barusan ibarat petir di siang bolong. Terlalu mengejutkan, juga terlalu menyakitkan untuk didengar. Sialnya, telingaku masih bisa mendengar kata-katanya.

"Menurut lo gitu?" tanyaku tak yakin. Kendati aku belum siap mendengar opininya, rasa penasaranku tak lagi bisa dicegah. Diam-diam aku menguatkan hati agar ucapan Nunna nanti tak banyak melukai perasaanku.

Nunna mengangguk mantap. Dengan santai, perempuan berambut bondol tersebut mencomot es batu dari gelasnya. Bunyi gemeletuk gigi beradu dengan es batu seketika membuatku merasa ngilu. Dia suka sekali melakukan itu.

"Berarti gue nggak menarik, ya?" lirihku tanpa sadar. Seharusnya aku memperhitungkan dulu risiko ke depannya, sebagaimana kemungkinan jatuh cinta dan terluka sendirian. Hal-hal semacam itu cukup masuk akal terjadi di zona pengagum rahasia sepertiku.

"Lo minta pendapat Fatya dulu, deh. Tuh, orangnya ada di belakang lo. Gue mau lanjut ngawasin si cabe-cabean. Bye!" Nunna mendadak pamit usai menyisakan sepotong limau yang tenggelam di dasar gelasnya. Meninggalkanku yang melongo, berusaha keras mencerna kalimatnya.

Fatya?

Kepalaku menoleh ke belakang, sekadar memastikan kebenaran ucapan Nunna. Dan ternyata memang benar. Tak jauh dari tempatku duduk, Fatya berdiri di samping seorang laki-laki. Tangannya memegang mangkuk berlogo ayam dengan senyum tipis yang mungkin saja ditujukannya untukku.

Aku membalas senyumnya kian lebar, lalu melambai sebagai tanda agar dia mendekat. Selanjutnya mereka berdua benar-benar menghampiriku, mengistirahatkan bokong masing-masing pada kursi panjang yang juga kududuki kini.

"Fat, gue—"

Permintaan maafku dipotong oleh suara pemuda lain yang duduk di depan Fatya. Seolah dapat membaca pikiranku, dia berkata, "Nanti aja minta maafnya. Bebeb gue kalo lagi laper jadi galak."

Fatya berdecak. Tampangnya menunjukkan ketidaksukaan terhadap laki-laki itu. Tapi tak berlangsung lama, sebab dia segera mengalihkan pandangan ke arahku dengan senyum terkembang sempurna.

"Gue juga mau minta maaf. Harusnya gue nggak perlu bentak-bentak lo kayak tadi. Sorry, gue kebawa emosi."

Aku menggeleng maklum. "Nggak papa. Gue tau sebenarnya lo punya niat yang baik. Guenya aja yang nggak enakan mau nolak dare dari Nunna. Tapi gue janji, Fat, semuanya bakal selesai tepat di tiga bulan. Tiga bulan nggak akan merubah apapun di hidup gue. Gue janji."

Dalam hati aku ikut mengamini janjiku sendiri. Berharap hubungan singkat aku dan Rega tidak memberikan banyak pengaruh bagi kelangsungan hidupku sendiri. Kuakui ucapan Nunnalah yang mendorongku berlaku demikian.

Bahwa dia tidak sebegitu pedulinya padaku. Bahwa aku juga tidak semenarik itu untuk dipedulikan. Bahwa di antara kami benar-benar tidak ada harapan. Jadi, untuk apa aku teramat serius dengan permainan ini?

"Dan lo harus janji untuk satu hal." Dua alisku terangkat, menunggu Fatya menyelesaikan ucapannya.

"Nilai lo nggak boleh turun, atau hubungan kalian akan terbongkar," peringatnya. Kemudian Fatya melahap gumpalan daging giling dari mangkuknya, menikmati kembali makanan favoritnya yang sempat tertunda.

Selagi dia mengisi energi, aku sibuk memikirkan perkataannya. Fatya benar, aku hampir saja melewatkan hal sepenting itu. Untunglah dia mengingatkanku lebih awal.

Karena jika Ayah sampai tahu nilaiku anjlok, bisa-bisa beliau curiga dan batal memberiku izin kuliah ke luar kota. Atau kemungkinan terburuknya adalah memasukkanku ke kampus swasta tanpa sepeserpun biaya darinya.

Memikirkannya saja sukses membuat kepalaku berdenyut pusing. Apalagi sampai mengalaminya?

Tidak! Aku tidak mau!

Kuraih permukaan gelas yang berembun milikku dengan gusar, mengisap isinya lewat sedotan plastik yang terasa sejuk. Sedikit berharap rasa asam manis yang menyegarkan dapat merilekskan otot-otot tubuhku yang menegang. Kalau perlu juga sekalian mengurai benang-benang kusut di otakku.

Di tengah kekalutanku terkait dare pacaran, ketakutan terbawa perasaan, dan kepercayaan Ayah dan Ibu, tahu-tahu Aksa—yang sibuk menyantap batagor di piringnya—menceletuk asal.

"Karena sekarang kalian udah baikan. Jadi … kita mulai dari mana misi pendekatannya?"

✿✿✿

In Memories #NupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang