Aku melepas genggaman pada sendok, refleks menoleh ke arah Rega yang ternyata tengah menatapku juga. Netra kami bersirobok, lama. Seakan berusaha menyelami isi pikiran masing-masing tanpa distraksi dari orang lain.
Tulang hidung yang tinggi ditambah alis rapinya yang memayungi mata sejernih madu itu sesaat menghipnotisku. Semacam magnet yang mampu menarik siapapun untuk mendekat, memikat, lalu memerangkap. Membuatku terlena hingga lupa tentang panggilan 'Ra' yang dirinya sematkan.
Masih dalam keadaan memegangi rambutku yang lepek akibat keringat, Rega menaikkan sebelah alisnya, bertanya, "Kenapa, Del?"
Del?
Kenapa sekarang panggilannya berubah?
Aku buru-buru menggeleng sembari menyunggingkan senyum tipis. Memasang tampang tenang meski pikiranku mulai berisik menyusun dugaan. Biasanya aku lihai menyembunyikan keresahan. Orang-orang hanya akan menganggap diamku laksana angin lalu. Lagipula aku sudah menjawab lewat gelengan kepala, namun mengapa tatapan menelisik dari Rega terasa menyudutkanku selayaknya tersangka?
"Oh, iya, Ga. Gue mau minta maaf kalo akhir-akhir ini gue jadi sinis ke elo."
Kami berdua kompak memalingkan wajah ke arah sumber suara. Tampak di depanku Fatya tengah mendorong piring batagor mendekati Aksa, yang langsung mendapat sambutan menggelora dari pemuda itu.
Dengan cekatan Aksa memisahkan potongan timun dari piring pacarnya. Setelah itu melahap bakso tahu terbungkus renyahnya kulit pangsit dengan tergesa. Agaknya dia memang sedang berselera.
Kabar baiknya, suraiku sudah terbebas dari cekalan jari-jemari Regasa. Kesempatan itu kugunakan untuk menggeser tubuh agak jauh guna menghindari kontak fisik lebih parah. Aku belum terbiasa dengan hobinya yang suka spontan mengacak rambut dan semua bentuk psycal touch itu.
Wajar, kan? Kami baru berpacaran dua hari dan dia berpacaran dengan Adeluna Rahardja yang belum punya pengalaman sama sekali. Bagaimana bisa aku bertingkah biasa-biasa saja? Bagiku, berpacaran dengannya pun masih terasa seperti mimpi karena prosesnya begitu cepat. Sebab itu aku butuh waktu untuk menyesuaikan diri.
"Ga, ini pacar gue dimaafin, nggak? Malah diem." Aksa menginterupsi di tengah kunyahannya. Sudut-sudut bibir pemuda itu berlumur saus kacang macam anak kecil. Selanjutnya, Fatya sigap menarik beberapa lembar tisu dan menyodorkannya untuk Aksa.
"Bersihin dulu itu, ih." Raut perempuan muda di depanku terlihat jijik, tetapi lawan bicaranya semakin memperlebar cengiran. Bukannya segera membersihkan area bibir seperti titah Fatya, Aksa justru mendekatkan wajahnya, tersenyum menggoda.
Aku sampai harus memejamkan mata rapat-rapat sebab adegan yang mereka lakukan amat sangat berlebihan.
Entahlah. Aku hanya merasa malu, padahal jelas-jelas mereka yang melakoni itu.
Aksa terlalu menghayati perannya sebagai anak kecil berumur remaja, sementara Fatya dengan tulusnya mengambil peran Ibu untuk anak berumur tujuh belas tahun ini. Telaten tangan Fatya menyeka noda, membantu Aksa yang senyum-senyum sendiri bak orang gila.
Rega berdeham, memutus atensi kami dari Aksa. "Santai aja, Fat. Gue nggak ngerasa di sinisin, kok."
Cewek yang memakai jepit rambut berbentuk ceri itu balas mengangguk sembari tersenyum canggung. Kedua pipi bulatnya merona samar. Dirinya memukul ringan bahu Aksa sebagai pelampiasan. Kemudian mereka terkekeh berdua.
Aku masih mengamati keduanya. Terbengong, meski diam-diam merutuki Fatya dan Aksa yang sempat-sempatnya bermesraan di depanku dan Rega. Keduanya seperti sedang menyindir dengan gaya.
Tak lama sebuah tangan besar nan kokoh menghalangi jarak pandangku, membuat tontonan gratis di depan sana menjadi gelap gulita.
Seharusnya aku bersyukur sebab dengan begitu aku tidak perlu merasa mual. Kedua bola mataku pun tidak lagi terkontaminasi kemesraan si dua sejoli itu. Namun entah mengapa tindakan Regasa barusan seolah menegangkan otot-otot di tubuhku. Napasku tertahan kala tatapan kami kembali bertemu.
Jarak yang susah payah kubangun begitu mudah disingkirkan Rega. Kalau sudah begini rasanya sia-sia saja.
"Mau pindah tempat makan?" Ia menawarkan. Melihat tatapan serius Rega bercampur sedikit kilatan panik, sontak memancing kedutan di kedua sisi bibirku.
Aku bahkan sudah terbiasa dengan tingkah mereka sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Dulunya mungkin tidak seterang-terangan ini. Paling hanya bergandengan tangan setiap menunggu bis jemputan datang, atau duduk berdampingan selama bis berjalan mengantarkan kami pulang.
Sungguh, semenjak itu aku sudah terbiasa menjadi nyamuk di antara keduanya. Karena belakangan mereka terlewat berlebihan, aku jadi sedikit syok. Ya, hanya sedikit. Namun bukan berarti aku butuh perlindungan seperti ini.
Belum sempat menjawab pertanyaan Rega, telingaku lebih dulu berdenging saat mendengar celetukan dari Aksa. "Kasian, ya, Luna mupeng liat kita, Beb."
Netraku membulat tak percaya dengan wajah pias. Kali ini bercandanya Aksa tidak lucu sama sekali. Cenderung mengundang kekesalan yang mati-matian kutahan. Lihat saja nanti, akan kuadukan bagaimana kelakuannya di belakang Fatya. Biar dia tahu rasa!
"Sa." Suara Rega mengalun tegas, memperingati. Tatapan tajam seolah pisau belati itu memandang Aksa penuh ancaman. Buruknya, peringatan dari Regasa tak juga ia hiraukan. Lebih-lebih lagi Aksa nekat menimpali.
"Coba aja yang jadi pacarnya Luna bukan Rega, mungkin sekarang kita lagi battle gombalan maut. Ck, kenapa, sih, waktu itu dare-nya sama Rega? Mending juga Safar yang jago catur. Atau si Santos yang doyan ngelawak. Pasti hidup Luna nggak datar-datar banget."
Aku merasa aura di sekitar berubah gerah. Sepertinya suhu pendingin ruangan naik beberapa tingkat sehingga tubuhku mengeluarkan keringat dingin lagi. Dan keringat dingin itu kian mengucur deras sewaktu suara rendah Rega terdengar semakin mengintimidasi.
"Aksa Janarisatya."
Aku percaya Rega bisa mengelola emosinya dengan sangat baik. Dia tidak akan berkelahi di tengah lautan manusia hanya karena masalah sesepele ini. Jika Rega mau, dia bisa membawa Aksa langsung ke ring tinju untuk merealisasikan tumpukan kekesalannya. Dengan begitu dampak yang disebabkan oleh mereka tidak akan seburuk ketika berkelahi di tempat umum.
Namun sebagian hati kecilku menolak percaya. Ada rasa was-was Rega kelepasan bertindak. Bagaimana pun juga dirinya hanyalah manusia biasa yang punya batas kesabaran. Bisa jadi selama ini pemuda itu sudah cukup menahan diri, lalu berniat menghajar Aksa saat tiba waktunya nanti.
Kuturunkan sebelah tangannya yang semula terangkat di depan mataku, membawanya ke balik meja untuk kemudian menahannya lebih lama. Berupaya menenangkan Rega, sementara gemuruh di dadaku mulai menggila.
Ini merupakan langkah paling gila kedua yang kulakukan setelah membohongi Ayah dan Ibu. Aku sendiri juga bingung kenapa sampai punya inisiatif begini. Barangkali karena akhir-akhir ini intensitas kami bergaul terlalu dekat, perilaku Rega sedikit banyak menular padaku.
Begitu, kan? Ketika kamu mulai menyukai seseorang, tanpa sadar kamu akan mengikuti tindakannya.
"Eh, Ga, sorry gue potong. Gue denger-denger bokap lo selebriti chef, ya? Suryo Adhyaksa, bukan?" Fatya mengalihkan pembicaraan segera, bersamaan dengan menjalarnya rasa hangat dari telapak tangan Regasa.
"Kata siapa?" Ia balas bertanya. Kali ini jauh lebih rileks, tak lagi terpengaruh oleh biang rusuh di depannya. Pelan tapi pasti jari-jari panjang Rega menyelip di sela jemariku, mengisi ruang kosong yang terasa pas ketika genggaman dieratkan.
Ini aneh, tapi menyenangkan. Seakan ada ribuan kepak sayap kupu-kupu berterbangan di perutku. Nada-nada lagu romansa tak ketinggalan berputar di kepala, saling beradu lirik membentuk simfoni cinta yang sialnya membuatku terlena.
Sesaat.
Sebab di detik selanjutnya, Rega menghempaskan tanganku begitu saja lantaran mendengar Fatya menyebutkan satu nama.
"Aksa."
Yang disebutkan namanya justru sibuk memegangi sekitar dada akibat gagal menelan hasil kunyahannya. Aksa terbatuk hebat. Wajahnya merah padam seketika.
Hanya dengan melihat reaksi Rega dan sirat ketakutan di bola mata Aksa, kiranya aku dapat menebak apa yang akan terjadi sepulang sekolah.
Poor, Aksa Janarisatya!
KAMU SEDANG MEMBACA
In Memories #Nupa
Teen Fiction"Cuma tiga bulan, Ga. Setelah itu, lo bisa lupain semua yang terjadi di antara kita." "Kenapa cuma gue?" "Karena gue nggak yakin bisa lupain elo." ✿✿✿ Kalau bukan karena permainan konyol itu, aku tidak akan mengingkari janjiku pada Ayah. Aku tidak a...