"Lo harus pulang bareng Rega."
"Tapi Ayah gue selalu nunggu di depan gerbang, Sa."
"Ya, alesan dong, Lun. Nugas kek, apa kek, biar lo bisa pulang bareng Rega."
"Terus Reganya gimana?"
"Gampang. Biar gue yang atur nanti."
Percakapan terakhir antara aku dan Aksa satu setengah jam yang lalu itu masih hinggap di pikiranku. Semakin melekat dan tak bisa dienyahkan ketika les terakhir hari ini berada di penghujung waktu. Apalagi sampai sekarang aku belum juga memutuskan sesuatu, membuatku kembali tak fokus mendengarkan penjelasan guru.
Sepintas kulirik jam yang melingkari pergelangan tangan, bermaksud menghitung detik demi detik yang terasa bagai menunggu eksekusi. Dua puluh menit lagi dan aku masih belum mengetahui dengan siapa akan pulang nanti.
"Lun, temenin gue ke toilet, yuk."
Kepalaku spontan menoleh saat mendengar bisikan disusul decakan dari mulut Fatya. Dia menatapku penuh harap, kakinya juga bergerak tak beraturan di bawah meja. Agaknya sedang menahan sesuatu.
Setelah melihatku mengangguk, dirinya buru-buru berdiri untuk meminta izin pada Bu Berta. Tak ketinggalan pula menyeretku yang sedang repot mengantongi ponsel di saku kemeja.
Selanjutnya, kami berlari kecil menuju toilet di lantai bawah. Toilet yang letaknya persis di bawah tangga itu merupakan toilet terdekat dari kelasku. Terdiri dari dua pintu utama yang masing-masing digunakan untuk laki-laki dan perempuan. Ruangannya pun sempit. Hanya ada dua bilik kecil juga satu wastafel. Beruntung keadaannya bersih dan terawat.
Fatya melepaskan tanganku sebelum mendorong pintu toilet. Telingaku menangkap suara pintu bilik yang didobrak kuat, disambung dengan bunyi kucuran air keran yang menyala.
Seraya menunggu Fatya menuntaskan panggilan alam, aku merogoh saku untuk mengecek ponsel. Kukeluarkan benda persegi itu, mengamati layarnya yang berkedip saat kuketuk dua kali. Menimbang sejenak, akhirnya kuberanikan diri mengirimkan pesan pada Ayah.
"Huh, lega gue," cetus Fatya berbarengan dengan berubahnya warna centang pesanku. Biru. Artinya Ayah telah membacanya.
"Ayo, balik. Entar keburu lonceng pulang, Lun." Fatya menggoyang-goyangkan lenganku, menarik atensiku dari tulisan 'mengetik' di layar.
"Iya," balasku sekenanya. Kami melangkah bersisian menapaki satu per satu anak tangga dengan hati-hati, berjalan lebih lamban dari sewaktu pergi tadi.
Lagi, aku melihat ruang obrolan Ayah. Takut saja pesan dari beliau luput dari perhatianku, mengingat aku menerapkan mode hening di ponsel.
Benar saja, tiga pesan beruntun dari Ayah terpatri pada layar notifikasi.
Ayah
Ok. Nanti Ayah bilang ke Ibu biar dia nggak cemas nyariin kamu.Kabarin kalau udah sampai di rumah Nunna.
Selamat mengerjakan tugas, Nak.
"Oh, jadi anak Pak Rahardja yang paling lugu ini udah berani bohong, ya?" sindirnya terang-terangan. Aku lekas menyimpan ponsel setelah memberikan balasan "Iya, Yah" kepada beliau.
Berpaling ke arah Fatya, kutemukan raut meledek di wajah bulatnya. Dia menyeringai tanpa menatapku sembari berpura-pura membersihkan kuku.
"Fat—"
"Iya, deh, yang mau pulang bareng Rega. Duh, ide pacar gue emang cemerlang, ya." Fatya makin gencar menyerangku. Dia tersenyum sangat lebar sampai-sampai matanya menyipit bagai bulan sabit.

KAMU SEDANG MEMBACA
In Memories #Nupa
Teen Fiction"Cuma tiga bulan, Ga. Setelah itu, lo bisa lupain semua yang terjadi di antara kita." "Kenapa cuma gue?" "Karena gue nggak yakin bisa lupain elo." ✿✿✿ Kalau bukan karena permainan konyol itu, aku tidak akan mengingkari janjiku pada Ayah. Aku tidak a...