[12]

49 49 10
                                    

"Ra?" Aku refleks mencicit dengan kening berkerut dalam. Sewaktu tersadar, buru-buru aku menutup mulut dan bergerak menjauhi Rega, membentang jarak kian lebar.

Dia juga diam. Agaknya mulai menyadari apa yang barusan keluar dari bibirnya. Tatapannya kosong menatapku, tapi aku tahu pikirannya sedang penuh. Tak lama kepalanya menggeleng singkat, lalu melontarkan permintaan maaf seraya menyibukkan diri dengan penghapus papan.

Rega tampak menghindariku. Setiap kali kami bertemu mata, dia lekas melarikan pandangan. Entah hanya perasaanku saja atau apa, yang jelas dirinya terlihat enggan membahas tentang makhluk bernama "Ra" itu.

Aku pun tak mau menanyai lebih lanjut. Kupikir dengan perubahan sikapnya yang mendadak dapat menjadi bukti jika memang ada sesuatu yang ia sembunyikan. Dan itu sudah cukup membuatku menyadari sekilas tentang hubungan kami.

Benar. Sejak awal kami hanya melakoni sebuah tantangan. Tidak benar-benar pacaran sungguhan. Aku juga menambahkan jika hubungan ini memiliki batas waktu sampai tiga bulan. Itu berarti semuanya harus selesai tanpa melibatkan perasaan. Dan itu mustahil kulakukan.

Hening panjang melingkupi kami. Sejujurnya aku risih berada di situasi seperti ini. Menunggu Rega buka suara pun rasanya percuma, dia tidak menunjukkan tanda-tanda ingin bicara.

Nekat, aku memberanikan diri memutus siklus tak menyenangkan ini. "Udah selesai ekskulnya?"

Rega berhenti menghapus papan, tangannya turun dan langsung menghadapkan tubuhnya padaku. Wangi lemon citrus yang segar terasa menyegarkan di indera penghiduku, khas dirinya sekali. Aku sampai tergagu beberapa detik akibat menatap matanya yang teduh.

Pemuda itu mengangguk patah-patah, seakan tak yakin dengan jawabannya sendiri. "Iya … tapi enggak," tuturnya yang makin membuatku tak mengerti.

Maksudnya bagaimana?

Dia menggeleng, lalu mengoreksinya dengan dua kata. "Gue bolos."

Aku terperangah, tak menyangka jika kegiatan yang paling disukainya sekalipun mampu ditinggalkannya semudah ini. Entahlah, mungkin dia memang punya alasan. Tapi tetap saja bolos itu tidak dibenarkan!

Kata-kata Aksa waktu itu jelas sangat kontradiksi dengan keadaan Rega saat ini. Aku mulai meragukan kedekatan keduanya. Pemuda itu tersenyum lagi sejak bergabung dengan ekstrakurikuler audio-visual? Lucu. Bahkan sekarang dia berani meninggalkan tempat favoritnya itu.

"Kenapa?" Kata tanya itu lolos kala rasa penasaranku tak dapat ditahan lagi. Bibirku gatal ingin memberondongnya dengan banyak pertanyaan yang sejak lama bersemayam dalam kepala. Namun keterdiaman Rega sudah cukup menjawab semuanya.

Aku tidak sepenting itu untuk tahu apapun tentang dirinya.

"Del." Rega memanggilku. Suara lembut nan rendah miliknya mengalun sopan di telinga. Menarik kesadaranku yang entah terbang sampai mana.

Aku suka caranya memenggal namaku. "Del" terdengar menyenangkan jika ia yang menggaungkan. Saat orang lain memanggilku Luna, hanya dirinya yang memanggilku demikian. Layaknya orang istimewa di hubungan yang bahagia. Padahal sebenarnya tidak begitu juga.

Pemuda itu tampak ingin bicara, tapi aku segera memotongnya. "Makasih, Ga." Kemudian berlalu meninggalkan Rega dengan tangannya yang masih menggenggam penghapus papan.

Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi. Rega bersama semua rahasia dan pikiran rumitnya tak akan mampu kutembus dengan mudah. Bodoh kalau sejak awal sisi egoisku menginginkan perasaannya utuh milikku, nyatanya Rega punya tembok berlapis meski kelihatannya juga menginginkanku.

Membuatku seolah merasa diinginkan, seolah dia juga memiliki perasaan yang sama, namun sebenarnya tidak demikian.

Luna bodoh!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 18, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

In Memories #NupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang