[9.1]

49 53 6
                                    

Motor Rega berhenti di pelataran sebuah rumah yang luas. Saat turun, kakiku disambut oleh rumput hijau pendek-pendek yang berbaris rapi sejauh mata memandang. Tidak ada pagar besi tinggi dan pilar beton berornamen seperti bayanganku. Yang ada hanya bangunan dua lantai sederhana berdinding kayu yang dipernis hingga tampak mengilap.

Fatya, Nunna dan Sastra menyusul kemudian. Mereka turut memarkirkan kendaraan di bawah pohon jati yang rindang, tepat di sebelah motor Rega.

Nunna berdecak kagum, lalu menghampiri Rega yang tengah melepas helm dari kepalanya.

"Gue kira rumah lo mirip istana di film-film, Ga. Ternyata malah lebih keren dari yang gue bayangin," cetusnya, masih memandang takjub ke sekeliling. Nuansa Jawa memang sangat kental terlihat di sini.

Regasa membalas dengan senyum singkat sebelum mempersilakan kami masuk ke dalam, melihat lebih dekat ragam furnitur serba kayu-kayuan yang menghiasi setiap sudut kediaman Adhyaksa.

Aku masih betah bergeming, menatap punggung ketiganya yang lama-kelamaan mengerdil di kejauhan. Mungkin lupa dengan keberadaanku yang kasat mata sebab terlampau antusias.

"Nggak mau masuk?" Ia bertanya, memindahkan atensiku dari ketiga manusia yang menghilang di balik pintu.

Bukannya lekas menjawab, aku justru balik bertanya, "Kita beneran pacaran, ya?"

Tidak bermaksud bagaimana, hanya sekadar memastikan. Rasanya masih terlalu janggal dan prosesnya terlalu cepat. Aku jadi bingung, kaget, dan merasa tak percaya di waktu yang bersamaan. Apa mungkin karena ini pertama kalinya untukku?

Rega tertawa. Netranya menyipit bagai bulan sabit di balik kacamata oval itu. Suara tegasnya berubah renyah dan terdengar menyenangkan di telinga. Jenis tawa yang menular hingga tanpa sadar sudut bibirku tertarik ke atas.

Aku menyukainya. Aku menyukai Rega yang tertawa.

Setelah itu satu tangannya yang bebas mengacak puncak kepalaku, membuatku kontan merengut masam sembari merapikan kembali rambutku yang memang sudah kusut sejak di perjalanan.

"Rese!" semburku, kemudian berlalu meninggalkannya yang makin terbahak di belakang sana.

Aku menyukai semua tentangnya. Namun, kebiasaannya yang sering tidak menjawab pertanyaan itu cukup mengesalkan. Bukan hanya aku, semua yang diperlakukan begitu pasti jadi bertanya-tanya dan berakhir menelan asumsi sendiri. Rega membiarkan kepala orang-orang dipenuhi praduga, sementara dia sendiri enggan untuk meluruskannya.

Terkadang aku merasa dia dekat sekali, tetapi di lain waktu dia bisa terasa sangat jauh. Sosoknya yang membingungkan pun cenderung tertutup membuatku kesulitan memahaminya. Regasa benar-benar tak terduga.

"Jangan lupa bekalnya. Besok gue ada ekskul." Tahu-tahu pemuda itu muncul di sampingku. Mensejajarkan kaki dengan langkahku yang pendek-pendek.

Aku pilih mengangguk saja. Supaya dia tak lagi banyak bicara. Supaya kerja kelompok ini cepat selesai dan hari berlalu dengan singkat.

Memasuki teras rumah, pintu penuh ukiran kayu itu terasa sangat nyata di depan mata. Vas keramik besar-besar berbaris sepanjang jalan menuju pintu utama. Bagai melambai manja ingin dijamah.

Sayangnya, aku sedang tidak dalam suasana hati yang bagus untuk menuruti pinta mereka.

Nunna dengan wajah masamnya muncul tiba-tiba. Perempuan muda itu merengut kesal sembari menenteng dua buku yang dari sampulnya saja sudah membuatku melotot tak percaya.

Benar dia membawa dua novel itu ikut serta?

"Ngapain aja, sih? Lama amat jalan doang," gerutu Fatya yang menyusul keluar kemudian. Berbeda dengan Nunna, mimik muka Fatya terlihat sinis menjurus ke curiga.

In Memories #NupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang