[3]

83 91 9
                                    

Jemariku membolak-balik halaman novel tanpa minat. Dengan satu tangan menopang dagu, juga pikiran yang melayang-layang, aku mengembuskan napas berat. Hanya itu yang rutin kulakukan sejak kedatanganku lima belas menit yang lalu. Sejak kepalaku pusing dan pilih meninggalkan kantin untuk menepi sejenak ke perpustakaan.

Biasanya berdiam diri di sini ampuh mengembalikan kewarasanku. Bertemankan novel-novel tempo dulu, bau kertas-kertas lusuh, serta bunyi gesekan kertas yang beradu selalu membuat suasana hatiku jauh lebih baik. Tapi agaknya aku harus mencari cara lain agar gundah di pikiranku ini mau pergi.

Di hadapanku duduk dua orang gadis yang tak lain merupakan dua teman kelasku, Fatya dan Nunna. Mereka turut menyusul saat kukatakan sedang ingin membaca buku. Aku tahu, mereka tidak akan mempercayai alasanku semudah itu. Makanya cewek-cewek bersurai pendek itu bersikeras menemaniku.

"Maaf, ya, Lun. Kalo tau gini, gue nggak bakal ikutan setuju sama idenya Aksa," ujar Fatya. Dia terlihat yang paling menyesal setelah aku menceritakan kejadian semalam.

Aku menggeleng seraya menarik sudut bibirku tanggung. Benar, ini bukan salahnya Fatya ataupun Aksa—pacarnya. Justru mereka yang banyak membantuku hingga bisa sedekat ini dengan Rega. Mungkin kalau bukan karena mereka, aku dan Rega tidak akan saling menyapa sampai hari kelulusan nanti.

Sementara Nunna, gadis yang duduk di sebelah Fatya tampak serius mendengarkan. Sesekali turut mengangguk pertanda ia mengerti. Dia masih belum bicara walau rautnya dipenuhi tanda tanya.

"Gue cuma belum siap ketemu Rega lagi. Rasanya malu banget ketauan bohong," akuku lirih. Kuyakin hanya Fatya dan Nunna yang bisa mendengar pengakuanku barusan. Sebab kami mengambil tempat paling pojok di samping jendela. Spot favoritku setiap kali mengunjungi perpustakaan.

Aku memalingkan wajah ke kanan, berhadapan dengan jendela luas berkusen kayu yang langsung mengarah pada kolam buatan. Ikon Nusa Harapan itu berada pas di tengah taman, juga dikelilingi kursi panjang membentuk setengah lingkaran yang terbuat dari campuran bata dan semen.

Tempat itu nampak ramai diisi murid berpakaian olahraga. Mereka asyik bercerita, bercanda, seakan tidak memiliki masalah di hidupnya.

Apa begini rasanya melihat lewat kacamata orang paling menderita?

"Urusan Rega dibahas nanti-nanti aja. Sekarang yang paling penting itu Ayah lo. Menurut lo beliau percaya sama cerpen karangan lo itu?"

Aku mengedikkan bahu sebagai balasan atas pertanyaan Fatya. Kalau dilihat dari anggukan kecil Ayah semalam, sepertinya percaya. Terlebih Rega menambahkan alasan yang lebih masuk akal. "Iya, Om. Kebetulan rumah saya searah, jadi sekalian bareng Adel pulangnya."

Namun, isi hati manusia siapa yang tahu?

Melihat tampang Fatya dan Nunna yang seakan menunggu penjelasan, aku pun menambahi, "Gue nggak yakin, Fat. Mungkin percaya, mungkin juga enggak. Tapi kalo diliat dari sikap Ayah yang 'welcome' ke Rega, kayaknya percaya."

"Syukurlah. Liat aja entar kalo gue ketemu Aksa, mau gue sunatin lagi. Biar tau rasa!" dumelnya, membuatku dan Nunna kompak menahan tawa. Kurasa mereka sangat cocok dinobatkan menjadi Putri dan Pangeran Nusa Harapan. Fatya yang emosian bertemu dengan Aksa yang tidak pernah serius, maka hasilnya adalah pertengkaran. Tiada hari yang mereka lewatkan tanpa cekcok dan adu mulut.

Meski begitu, mereka adalah pasangan yang manis— di hari-hari tertentu. Seperti hari Valentine, Birthday, atau Anniversary keduanya. Aku pernah mendapati buket cokelat juga puisi romantis di loker penyimpanan milik Fatya. Dan ketika kutanya siapa pengirimnya, pipi tembam gadis itu akan memerah dengan sendirinya. "Biasalah, si Aksa. Emang siapa lagi?"

In Memories #NupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang