Nunna menyibak kain tirai lebih lebar, berusaha masuk lewat celahnya dengan sebelah tangan memegang satu gelas tangkai. Dari dalam gelas muncul asap putih tipis, pertanda sesuatu di sana pastilah masih panas.
Aku mundur perlahan hingga tubuhku bersentuhan dengan pinggiran kasur, memberi jalan Nunna untuk meletakkan gelasnya ke meja nakas.
"Fatya sama Aksa ada di depan. Gue yang minta mereka nunggu, karena gue rasa kita perlu bicara," ujarnya serius. Aku sering menjumpai Nunna jarang tersenyum. Wajahnya yang terkesan angkuh itu memang cukup mengganggu, tapi karena kami berteman baik, aku jadi tidak mempermasalahkannya. Cuma terkadang di situasi pelik seperti sekarang, kehadirannya menambah aura ruangan kian mencekam.
Gelas di tangannya telah berpindah, suhu ruangan pun berubah seiring tubuh Nunna bergerak menyerong ke arahku, membuat kami akhirnya berhadapan. "Jangan kepedean kalo gue bakal minta maaf sama lo." Dia melipat tangannya di depan dada sembari melemparkan senyum yang lebih mirip seringai. "Justru gue mau ngucapin terima kasih untuk kata-kata lo yang nyakitin itu. Thank's karena udah nyadarin kelakuan gue yang kelewatan," sambungnya.
Aku memilih tidak menjawab sebab masih berupaya memahami kalimatnya yang berebut masuk menyerbu otakku. Bahkan aku tidak dapat menebak bagaimana suasana hatinya sekarang—lewat raut wajahnya, entah baik atau buruk. Bisa jadi yang ia katakan bermaksud sarkas, bisa juga berarti sungguh-sungguh. Entahlah, aku sendiri pun kebingungan harus merespon apa.
Tiba-tiba Nunna tergelak. Gelak tawa malu-malu yang selalu kudengar setiap kali Ethan menggombalinya, beradu dengan deru mesin pendingin ruangan yang mengisi keheningan.
Dengan santainya perempuan itu duduk di sebelahku, merangkulkan lengan rampingnya pada bahuku. Saat menoleh, aku menemukan sorot haru di matanya. Terlebih aku baru menyadari keberadaan selaput bening yang menghalangi pandangan Nunna.
"Gue juga mau berterima kasih karena lo udah berhasil ngabulin satu keinginan gue." Ia mengedip cepat, meloloskan satu bulir yang jatuh di sekitar pipi.
"Gue nggak merasa ngelakuin sesuatu buat lo. Jadi jangan nangis gini, Nun," balasku tak tega. Refleks aku merengkuh tubuh Nunna erat, membiarkan pemudi itu menumpahkan tangisnya sebagaimana dia juga melakukan hal yang sama padaku.
Dari balik bahu, aku merasakan kepala Nunna menggeleng. Lalu, dia merenggangkan pelukan kami sampai tatapan kami bertemu lagi. "Lo udah berani bersuara, Lun. Lo udah bisa membantah sesuatu yang lo nggak suka. Itu keinginan gue."
Semakin Nunna banyak bicara, semakin sulit pula aku menerjemahkan kata-katanya. Bagaimana bisa kemarahanku menjadi sesuatu yang diinginkannya?
"Oh, gue lupa kalo temen gue yang satu ini emang polosnya kebangetan," hardiknya yang membuatku memutar bola mata.
Aku mengakui bahwa terkadang aku sulit memahami. Terkhusus untuk perkataan Nunna yang sering berbelit-belit, aku butuh waktu lebih lama mencernanya. Bukan polos cenderung bodoh yang serba tidak tahu apa-apa seperti kata Nunna. Aku mengkategorikan diriku sebagai orang-orang yang punya daya tangkap lemah alias lemot. Ya, setidaknya sebutan itu lebih baik daripada bodoh.
Nunna menghela napas sebelum kembali memasang mode serius. "Lun, lo sadar nggak, sih, sama perasaan nggak enakan lo itu? Jujur, gue aja yang cuma liat berasa capek banget. Makanya waktu lo ngegas tadi, gue jadi terharu. Karena itu salah satu keinginan gue."
Aku menyorot Nunna sendu. Kupikir dia akan mendiamkanku atau tindakan lain seperti memusuhiku. Mengingat aku sudah terang-terangan membentaknya, bukan tidak mungkin dia melakukan itu semua. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Perempuan muda di hadapanku itu justru berterima kasih karena aku telah memarahinya.
"Maaf—" Hanya itu yang berhasil kusuarakan sebab Nunna langsung memotongnya tanpa aba-aba.
"Stop, Lun. Ini masalahnya lagi kita bahas dan lo mau mulai lagi." Nunna menggeleng seraya berdecak. Ia lantas berdiri guna mengambil gelas yang asapnya sudah hilang untuk kemudian diberikan padaku.
Aku menerima sodoran darinya, meneguk pelan-pelan teh hangat yang tak lagi hangat itu tanpa sisa.
"Gue pengin lo bisa tegas ke siapapun itu. Berhenti mikirin perasaan orang lain yang bahkan mereka aja nggak mikirin perasaan lo," ultimatumnya—lagi.
Usai meletakkan gelas ke tempat semula, aku mempertemukan manik mata kami berdua. "Gue coba."
Nunna tersenyum sangat lebar sambil mengangguk. Kemudian dia bergerak memelukku hangat, menepuk-nepuk pelan punggungku. Otomatis aku mengeratkan rengkuhannya.
Aku tidak sedang berjanji. Namun aku berupaya untuk mencobanya. Kalau boleh jujur, aku pun sebenarnya lelah terus mengiyakan permintaan orang-orang. Ketakukan akan menyinggung perasaan mereka membuatku terpaksa menuruti kemauannya. Alasan lainnya adalah tidak ingin mengecewakan dan selalu dapat diandalkan.
Meski begitu, ada saja orang yang mencari keuntungan dari rasa tidak enakanku. Berdalih butuh bantuan, tetapi ujungnya justru memanfaatkan.
"Lo tau, nggak? Sebenernya tantangan itu juga akal-akalan gue. Kayak apa kata gue tadi, gue pengin lo menolak. Tunjukin gitu ke kita kalo lo keberatan. Tapi sayangnya malah lo terima. Yaudah."
Mataku melotot garang, terlalu kesal dengan kejahilan Nunna. Bisa-bisanya dia juga ikut mempermainkanku. Teman macam apa dia?
"Jahat banget!" bentakku gemas. Ingin kutarik bibir merah meronanya itu dengan penjepit agar dia berhenti tertawa. "Kalo gitu sekarang cabut tantangannya. Gue udah nyerah deketin Rega," lanjutku meminta.
Namun, balasan darinya kian membuatku ingin mencekiknya detik ini juga. "Enak aja. Lo udah nerima, ya, Lun. Bertanggung jawab, dong!"
Dasar gila!
✿✿✿
Part ini didedikasikan buat piillops (。•̀ᴗ-)✧
![](https://img.wattpad.com/cover/315356241-288-k782062.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
In Memories #Nupa
Ficțiune adolescenți"Cuma tiga bulan, Ga. Setelah itu, lo bisa lupain semua yang terjadi di antara kita." "Kenapa cuma gue?" "Karena gue nggak yakin bisa lupain elo." ✿✿✿ Kalau bukan karena permainan konyol itu, aku tidak akan mengingkari janjiku pada Ayah. Aku tidak a...