"Pada kenapa, sih? Kok serius gitu mukanya?" Nunna datang tak lama kemudian. Perempuan muda itu memandangku dan Fatya bergantian dengan dahi berkerut dalam. Seakan tengah menjadi seorang ahli mikro ekspresi, Nunna meneliti raut wajah kami.
Aku tak menjawab, begitupun dengan cewek di sampingku yang memilih kembali ke meja belajarnya usai melihat Aksa pergi. Mungkin kalau teman-teman kelasku tidak riuh menyerukan kedatangan Miss Hanna, pacar Fatya itu tidak akan beranjak dari tempatnya.
Kupikir Nunna juga akan balik ke meja belajarnya, duduk manis seraya mendengarkan materi yang diberikan, lalu mengerjakan latihan soal dengan seksama seperti yang akan kulakukan juga. Namun dugaanku berbeda. Dirinya malah menggeret kursi lain agar sejajar dengan kursiku. Kemudian dengan santainya meminta anak lain mengambilkan ransel miliknya.
"Gue nggak akan pergi sebelum lo cerita," bisiknya ketika Miss Hanna menyapa ceria di depan kelas. Aku pura-pura tak mendengar, beralih membuka buku sesuai arahan dari pengajar berusia seperempat abad itu.
Bukan tidak mau memberitahu Nunna, hanya saja kurasa bukan sekarang waktunya. Aku masih bingung dengan status baru antara aku dan Rega, serta tingkah Fatya yang tidak tertebak. Di kantin, dia seolah mendukung ide Nunna. Kini setelah Rega resmi mengumumkan hubungan kami, tingkahnya justru terkesan menolak. Aku jadi merasa serba salah.
"Adeluna."
Aku terhenyak saat Miss Hanna memanggil. Buru-buru aku berdiri dan mengangguk sopan di samping jantungku yang bertalu kencang.
"Kamu satu kelompok dengan Sastra Danu Atmajda, Nunna Syelila, Ardita Fatya, Meirani Putri, dan Regasa Adhyaksa," sambungnya sembari membolak-balik buku absen di tangan.
Nunna mengguncang pelan tanganku ketika mata kami bertemu. Ia memberitahu lewat gerakan bibir kala mendapati raut bingung di wajahku. "Tu-gas ke-lom-pok."
Aku balas mengangguk, kembali duduk dan menuliskan nama-nama yang telah disebutkan tadi di selembar kertas. Berpikir bahwa satu kelompok dengan Rega hanyalah sebuah kebetulan. Miss Hanna memang sering mengambil acak nama murid setiap memberikan tugas kelompok. Tapi entahlah, aku baru menyadari kalau ini adalah kali pertama aku dan Rega berada di satu kelompok yang sama.
Mengetahui itu membuatku teringat akan kebohonganku pada Ayah yang kini justru berbalik menjadi nyata.
"Baik, untuk yang namanya sudah Miss sebutkan tadi boleh segera bergabung ke kelompoknya masing-masing." Perintah Miss Hanna membuyarkan lamunan singkatku.
Bunyi meja dan kursi yang digeser terdengar menggema, memekakkan telinga. Melihat yang lain sibuk menyatukan meja-meja, aku malah mengalihkan fokus pada Rega yang tengah berjalan dengan ransel tersampir di sebelah pundaknya.
Laki-laki itu menatapku dalam, mengurung fokusku hanya pada dirinya seorang. Kuperhatikan gerakannya kian melambat, lalu tiba-tiba saja sosoknya berada di depanku.
"Woi, Lun! Sini duduk!" Nunna berseru. Suaranya yang nyaring beradu dengan sahut-sahutan yang lain.
Melihat aku masih bergeming, cewek itu sigap menarikku guna menempati kursi kosong di sampingnya. Sementara Rega, kunampak ia menjatuhkan tubuh pada kursi di depanku. Dia mendorong kacamatanya yang melorot turun. Mengedip sejenak sebelum menggantungkan ransel di punggung kursi, Rega lagi-lagi menjadikanku pusat atensi.
Aku mengetukkan jemari di atas meja kayu, berusaha tidak terpengaruh untuk membalas tatapannya. Untunglah dua meja yang disusun menyatu membentangkan jarak yang cukup besar, menghalangi kami. Sehingga-mungkin-aku bisa berkonsentrasi penuh pada tugas kelompok ini. Ya, setidaknya jarak kami masih terbilang aman bagi jantungku.
![](https://img.wattpad.com/cover/315356241-288-k782062.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
In Memories #Nupa
Teen Fiction"Cuma tiga bulan, Ga. Setelah itu, lo bisa lupain semua yang terjadi di antara kita." "Kenapa cuma gue?" "Karena gue nggak yakin bisa lupain elo." ✿✿✿ Kalau bukan karena permainan konyol itu, aku tidak akan mengingkari janjiku pada Ayah. Aku tidak a...