"Gue nggak lupa, kok. Tunggu." Aku meninggalkannya yang tercenung. Setengah berlari ke arah meja belajarku untuk mengambil bekal yang Rega maksud.
Niatnya aku akan memberikan saat lonceng istirahat kedua berdentang, karena jam makan siang memang di tengah hari, kan? Namun apa mau di kata. Regasa sudah lebih dulu menagihnya. Sementara, kuyakini dia juga belum ada jadwal ekskul sekarang.
Merogoh laci yang ada di bawah meja, kutemukan kotak persegi putih dengan banyak goresan cat minyak di setiap sisinya. Goresan itu membentuk gambar-gambar abstrak yang tak beraturan. Ada sandwich, apel, dan telur mata sapi dalam sekali tarikan kuas. Istimewanya, namaku tercetak di sisi atas penutup kotak makan itu.
Adeluna Rahardja. Aku menyebutnya signature line. Ya, kerjaan siapa lagi yang suka mencoret-coret barang selain diriku sendiri?
"Unik juga," lontar Rega yang ternyata telah berdiri tegap dari sampingku. Tatapannya mengarah pada kotak makan siangku, lekat, bagai mengamati benda bersejarah.
Aku berdeham, lalu sedikit menjauhkan diri agar aroma citrus dan lemon yang bercampur itu tidak terlalu menusuk indera penghiduku. Takut-takut kelak menjadi candu.
"Ini." Kusodorkan benda itu padanya. Yang kemudian diterimanya dengan senyum semringah. Matanya berbinar cerah bak mendapat kabar gembira. Padahal itu hanya nasi goreng dengan telur mata sapi, bakso, suwiran ayam dan kerupuk saja. Menurutku tidak ada yang istimewa.
"Nanti makan bareng gue, ya?" Rega meminta dengan raut tanpa dosa.
Spontan mataku terbelalak tak percaya. Susah payah aku menelan ludah yang tercekat di ujung tenggorokan. Belum juga bisa memberi jawaban.
Ini terlalu mendadak. Makan berdua dengan Rega sejujurnya pernah ada dalam anganku, tetapi kupikir itu cukup di dalam anganku saja, tidak untuk menjadi nyata. Apalagi kini hubungan di antara kami bukan lagi sebatas teman. Pasti rasanya canggung luar biasa.
Terkadang suatu khayalan memang lebih baik menjadi khayalan saja.
Rega memanggil sembari tangannya nakal mengacak poniku. Ia mengagetkanku lagi. Kali ini sukses memancing debaran di dadaku. Dia kenapa gemar sekali melakukan itu? Maksudku mengacak rambut dan membuatku terkena serangan jantung seperti ini!
Oh, ayolah, aku belum siap menghadapi tingkahnya yang tak terduga. Aksa benar, Rega memang suka bertindak impulsif. Dia tidak butuh waktu berpikir untuk merealisasikan apa yang ada di pikiran. Regasa spontan, tidak tertebak, dan juga sedikit meresahkan.
"Nggak usah khawatir. Kita nggak cuma makan berdua kok, nanti ajak Aksa sama Fatya juga," sambungnya segera.
Apa sekarang dia bisa membaca pikiranku juga? Wah, benar-benar ajaib!
Aku menimbang sejenak. Sejujurnya aku tak tega saat menangkap kilat sendu beserta permohonan yang nyata di kedua bola mata Regasa. Lagipula ini hanya makan siang biasa. Kami pun tidak akan makan berdua saja. Apa aku harus mengiyakannya?
Tapi bagaimana jika nantinya Aksa dan Fatya tidak berhenti mengolok kami? Terkhusus Aksa. Dia yang paling tahu apa yang sedang kami lakoni.
Belum sempat aku memberikan suara, suara lain terdengar riuh memekakkan gendang telinga. Fokus kami luntur perlahan, kemudian serempak memandang ke arah luar kelas. Di sana, tepat di depan pintu kelas telah berdiri sumber kekacauan yang berseru girang memanggil-manggil nama Rega. Pemuda itu—bahkan aku sangsi menjulukinya pemuda—berjalan dengan kaki berjingkat untuk sampai ke meja belajarku.
"Dapet makan siang gratis!" Aksa lantas menyerobot bekal di tangan Rega, menciumi aroma yang keluar dari lubang udara. "Nasi goreng!" tebaknya penuh antusias.
KAMU SEDANG MEMBACA
In Memories #Nupa
Novela Juvenil"Cuma tiga bulan, Ga. Setelah itu, lo bisa lupain semua yang terjadi di antara kita." "Kenapa cuma gue?" "Karena gue nggak yakin bisa lupain elo." ✿✿✿ Kalau bukan karena permainan konyol itu, aku tidak akan mengingkari janjiku pada Ayah. Aku tidak a...