[7]

67 64 5
                                    

Aku masih berdiri, menatap nanar punggung bidang pemuda yang meninggalkan jaketnya untukku. Aku masih bertahan dalam diam sekalipun rasanya ingin berteriak menyerukan kata maaf. Tetapi percuma. Nasi sudah menjadi bubur dan Rega pasti sudah terlanjur membenciku.

Di saat pikiranku tengah kalut tak karuan, Aksa tiba-tiba muncul dari arah belakang. Laki-laki itu nyengir, menunjukkan dua gigi kelincinya seraya memamerkan minuman isotonik di satu tangannya. Seandainya tingkah laku Aksa tidak membuat keningku mengernyit aneh, mungkin aku akan menyukai manusia di depanku ini.

"Buat lo," katanya. Aksa menyodorkan botol setelah membuka segel minumannya terlebih dahulu. Perlahan aku menyambut botol putih dan biru itu. Menenggaknya dalam dua tegukan besar.

Aksa sendiri telah mendaratkan bokongnya pada kursi bambu, duduk bersandar bersama satu kaki menopang kaki lainnya. Dia yang terlihat paling santai di sini. Berbeda denganku yang diliputi rasa was-was karena ditinggalkan sendirian.

Ralat, ditinggalkan berdua saja dengan Aksa.

Kucecap rasa manis bercampur asam dari bibir botol. Kemudian sebuah lampu menyala terang di kepalaku. Aku baru menyadari sesuatu. "Lo denger ...."

"Jelas!" Aksa memotong. Seketika punggungnya menegak, lalu tubuhnya dicondongkan ke depan seakan antusias akan menjelaskan. "Semuanya. Tapi tenang aja, gue nggak akan bocorin tentang permintaan nyeleneh lo dan sikap labil Rega dan lo yang akhirnya ditinggalin Rega."

Aku berdecak, "Sialan."

Aksa makin terbahak di tempatnya. Rautnya tampak puas sekali sebab berhasil memancing amarahku. Aku tak lagi menghiraukannya. Kuputuskan untuk kembali mengirimkan pesan pada Ayah. Tak lupa kuaktifkan ikon GPS sebelum berbagi lokasi supaya Ayah tahu dimana keberadaanku.

"Menurut lo, motor Rega bisa jalan sendiri kesini?"

Kepalaku menengadah dari barisan kata yang kuketik pada ponsel. Berpindah memaku Aksa yang masih nyengir-nyengir layaknya kuda. "Jadi lo yang bawa?" tanyaku menyelidik.

Pemuda berpostur tinggi dengan rambut tersisir rapi itu menjentikkan jarinya. "Of course, Lun. Tadinya dia nitipin ke gue, bilangnya mau naik mikrolet aja. Eh, malah disuruh anter kesini. Nggak salah elo, sih. Emang labil dia, tuh."

Aku mengangguk saja. Kembali menekuni papan keyboard yang sempat terlupakan. Meski keinginan menyangkal kelabilan Rega teramat besar, namun fakta-fakta yang kuketahui membuat mulutku terbungkam. Sekejap aku merasa telah bertindak benar dengan memintanya menjauhkan diri dariku.

"Tapi sebagai sahabat sejati, gue memakluminya, Lun. Gue rasa Rega yang sekarang udah jauh lebih baik dari yang dulu. Ya, meskipun masih suka bertindak nggak terduga," lanjutnya bercerita.

Usai menekan tombol send, aku mengalihkan tatap pada Aksa. Ia tidak membalas tatapanku, justru netranya menerawang jauh ke depan, menikmati setiap rintik gerimis yang jatuh ke aspal.

Aku tidak tahu apa yang sedang mengganggu pikirannya, tapi melihat tampang sendu di wajahnya membuatku turut iba. Aksa bahkan tak pernah menunjukkan kesan simpatik terang-terangan begini. Setiap hari tingkah konyolnya saja yang diperlihatkan di depan kami. Karena itu pula kupikir dia sungguh-sungguh tidak pernah serius.

Awan-awan nampak berarak menjauhi angkasa di atas sana. Matahari mulai mengintip malu-malu lewat celahnya. Namun berbanding terbalik dengan sorot Aksa yang masih saja mendung.

Aku yang tadinya hendak memesan ojek online— jika Ayah belum membalas pesanku— terpaksa harus mengurungkan niat demi menemani Aksa. Agaknya dia sedang butuh teman bicara.

Kududukkan diri di sebelahnya selepas menyimpan ponsel ke dalam ransel, bersiap menjadi pendengar kalau-kalau Aksa ingin berbagi cerita. Bukan karena ceritanya menyangkut tentang Regasa saja. Apapun itu, aku akan dengan setia mendengarkannya.

Pemuda itu menghela napas panjang. Seakan apa yang akan diceritakannya begitu berat untuk disampaikan. "Lo tau nggak, Lun? Rega pernah jadi orang paling bodoh waktu putus cinta. Dia ngelamun sepanjang hari, nggak makan teratur, nggak mau bersosialisasi sama orang-orang, termasuk gue," tutur Aksa. Nada suaranya berubah total. Dari yang biasanya terdengar jenaka, kini menjadi penuh lara.

Ia menjeda ceritanya sesaat guna mengambil satu batang rokok dari saku. Menyulut ujungnya dengan korek kayu, sementara ujung lain dijepit di antara bibirnya.

Kepulan asap putih berbau apak seketika menguar dari sana, menyamarkan wajah pilu Aksa yang tampak lebih tenang sekarang. Tidak mempedulikanku yang terbatuk-batuk karena ulahnya.

Butuh beberapa waktu untukku menguasai diri. Mengetahui pacar Fatya ternyata seorang perokok aktif membuatku hampir tidak mempercayai penglihatanku sendiri. Pasalnya Aksa tidak sekalipun menunjukkan ciri-ciri seorang perokok. Bibirnya pink pucat dengan gigi putih yang berbaris rapi. Sangat berbeda dengan perokok kebanyakan.

"Sampe akhirnya gue saranin masuk ekskul Audio-Visual di pertengahan kelas sebelas. Kabar baiknya, Rega mulai aktif ikut bazaar, buat mading, desain poster event. Dia juga direkrut jadi anggota OSIS sekarang. Ya, meskipun cuma jadi seksi dokumentasi, tapi se-enggaknya gue bisa liat dia senyum lagi," terang Aksa sembari mengulas senyum tipis. Dia menghisap cerutunya dalam-dalam. Matanya terpejam singkat seolah mengingat-ingat kembali kejadian itu.

"Sa, gue bener-bener nggak tau Rega pernah ngalamin hal itu. Gue pikir selama ini hidupnya baik-baik aja. Punya papa seorang selebriti chef ...."

"Lo pasti tau dari Fatya, ya?" potongnya cepat. Raut muramnya seketika berganti geli. Aksa mendengus, "Sorry, Lun. Gue bohong soal itu."

"Apa?"

Aksa berdeham, lalu menganggukkan kepala. "Iya, gue bohong. Gue tau banget Fatya bakal bocor ke orang-orang. Makanya gue kasih info palsu. Nggak mungkinlah gue umbar-umbar fakta temen gue—"

"Sekarang lo lagi umbar-umbar fakta temen lo, kalo lo lupa," peringatku sinis sebab mengetahui orang di sampingku sudah membohongi pacarnya sendiri, yang tak lain merupakan teman dekatku juga.

"Maksud gue nggak gitu, Lun. Lo tau sendiri gimana Fatya, kan? Nah, gue ngomong gini ke elo juga karena gue percaya sama lo. Gue percaya lo nggak bakal ambil kesempatan apapun dari Rega. Dan ... sebentar, hape gue getar-getar." Aksa membuang sisa rokok di tangannya. Buru-buru dia mengeluarkan IOS series X, tampak sedang membaca deretan kalimat di dalam sana.

Tak lama senyum di sudut bibirnya terbit lagi. Bolak-balik dia menatapku dan ponselnya bergantian penuh arti. "Dan gue percaya lo ikut andil merubah Rega."

Keningku berkerut heran. Tidak mengerti kemana alur percakapan ini bermuara, sebelum Aksa menunjukkan isi pesan yang diterimanya.

Anak Pak Adi
anterin Adel pulang.

Aku tercengang. Masih berusaha memanggil ruh-ku yang terbang ke awang-awang. Selain menyusulku turun dari mikrolet, pesan itu adalah hal termustahil kedua yang menjadi nyata.

Aku seratus persen sadar telah menyuruhnya menjauhiku. Aku tidak menghargai bantuan yang selama ini dia lakukan. Aku menyakiti hatinya dengan kata-kataku. Lalu, kenapa dia masih peduli?

"Buset! Dikira gue kuyang apa, bisa se-enaknya terbang buat nganterin lo pulang. Pinter amat temen gue," gerutu Aksa yang tak kuhiraukan. Kepalaku rasanya penuh sesak dengan banyak informasi hari ini. Ibarat wadah yang terus diisi air, pikiranku pun meluber. Bingung harus fokus memikirkan fakta yang mana terlebih dahulu.

Rega yang pernah bodoh saat putus cinta. Atau Ayah Rega yang ternyata bukan seorang chef. Atau kenapa Rega suka fotografi. Atau apa yang membuatnya masih bersikap baik saat aku terang-terangan mengusirnya dari hidupku.

Oh, lama-lama aku bisa gila kalau begini caranya!

"Oh, iya, Lun. Jangan kasih tau Fatya kalo gue merokok. Bisa-bisa dia minta putus."

In Memories #NupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang