Rega menyuruhku duduk di sebuah sofa berbahan kulit sintetis usai menyapa ramah dua pemuda yang kami temui di pintu masuk. Tautan tangan kami terlepas saat dirinya meletakkan kotak persegi itu di atas meja. Tanpa kata, ia berjalan menuju pintu kaca yang terbuka.
Rega benar-benar mengajakku ke ruang siaran. Dengan dalih mengambil kamera yang tertinggal, ia menahanku di tempat yang menjadi markas ekstrakurikuler audio-visual ini.
Astaga, maafkan aku yang sempat berpikiran buruk tentangnya. Mempermalukanku? Dasar pikiran pendek! Buktinya Rega tak melakukan apapun terhadapku, selain menggandeng tangan tentu saja.
Aku mengambil tempat di sudut sofa. Duduk celingak-celinguk menyorot apapun yang ada selagi Rega entah sedang melakukan apa di dalam sana.
Ruangan ini penuh sumpek dengan aneka barang yang tidak tertata rapi. Rak besi berisi majalah dan surat kabar yang berserakan, lemari kayu empat pintu yang kusam, beragam karikatur dan poster bertempelan acak di dinding, membuat mataku sakit memandangnya.
Kuputuskan membuka ponsel daripada bosan menunggui Regasa yang tak kunjung datang. Getaran menandakan masuknya sebuah pesan. Dari panel notifikasi, kontak dengan nama "Nunna" mengirimiku banyak chat tanpa permisi.
Nunna
Lo di mn?
Knp g blk-blk si?
Ni nvl lo ktnggln.
Aws y klo lo bols, bnrn gw aduin ke Pk Rhrja.
Luna!
P
P
P
P
Gw suruh mnta mf mlh ngapel ber2 >:(Lekas kutekan ikon telepon untuk menghubunginya. Sekadar memastikan Nunna tidak nekat mengadukanku pada Ayah. Lagian, tadi dia yang kekeh menyuruhku meminta maaf, sekarang kenapa dia jadi heboh sendiri?
Atensiku teralihkan oleh seseorang yang baru keluar dari ruangan. Rega tampak menenteng kamera dengan satu tangan lain membawa bungkusan. Rambut bagian depannya basah dan wajahnya jauh lebih segar ketimbang sebelumnya, seperti habis cuci muka.
Aku terpaksa mengakhiri dering sambung saat Nunna tak juga mengangkat panggilan. Kusimpan ponsel dalam saku lalu mengambil duduk tegap kala Rega berjalan mendekat.
"Makan dulu." Ia mengangsurkan roti sobek ke arahku sebelum turut mendaratkan bokongnya pada permukaan sofa.
Terpaku, aku hanya bisa memandang dirinya dan bungkusan roti bergantian. Tak menyangka juga Rega masih berbaik hati di saat kemarin aku memintanya pergi.
"Makan," suruhnya lagi. Sorotnya lekat menyelami iris mataku.
Kepalaku menggeleng. Kukembalikan benda itu pada pemiliknya yang tengah mengernyitkan dahi. "Nggak suka?" Rega bertanya sangsi.
"Gue udah jahat sama lo," lirihku dengan kepala tertunduk. Sebisa mungkin aku menahan diri agar tidak menangis. Aku terharu dengan kebaikan hatinya. Kenapa dia tidak bersikap jahat saja padaku? Dengan begitu aku punya alasan yang kuat untuk menolak dare dari Nunna.
"Ngomongnya nanti, sekarang makan."
"Tapi gue—"
"Del, kalo gue setuju jadi pacar lo tiga bulan, lo mau makan, nggak?" potongnya cepat. Dibukanya kemasan roti berselai cokelat itu, mengulurkannya padaku.
Apa katanya tadi?
Kontan kepalaku menengadah saat mengerti maksudnya. Mataku membola lebar menatapnya tak percaya. Apa aku baru saja bermimpi? Tapi kenapa terasa senyata ini?
Ia memindai roti ke tanganku, membuatku terhenyak selayaknya orang linglung. Gerakannya sedikit memaksaku agar menerima pemberiannya. "Abisin, sepuluh menit lagi masuk kelas," tutupnya sebelum beranjak keluar ruangan.

KAMU SEDANG MEMBACA
In Memories #Nupa
Fiksi Remaja"Cuma tiga bulan, Ga. Setelah itu, lo bisa lupain semua yang terjadi di antara kita." "Kenapa cuma gue?" "Karena gue nggak yakin bisa lupain elo." ✿✿✿ Kalau bukan karena permainan konyol itu, aku tidak akan mengingkari janjiku pada Ayah. Aku tidak a...