[6.1]

66 62 4
                                    

"Tunggu!"

Sepertinya aku benar-benar bermimpi sekarang. Sudah kukatakan, mustahil dia menyusulku. Aku lebih percaya Rega bertahan di mikrolet sampai tiba di rumahnya, ketimbang mengejarku untuk ikut pulang dengannya.

Aku menggelengkan kepala, menepis dugaan semu yang mengambil alih pikiran. Ketika manik mataku menemukan sebuah kios kecil pinggir jalan, segera kupercepat langkahku.

"Adeluna!"

Lagi, suara mirip Rega memanggil namaku. Mau tak mau aku berhenti, lalu mencubit keras lenganku seraya mengaduh.

Tunggu ...

Rasanya sakit. Berarti ini nyata? Rega membuntutiku?

Untuk memastikannya, aku berbalik. Netraku memicing menembus bulir-bulir gerimis. Tidak terlalu jelas, namun siluet pemuda dengan tubuh tegap dan seragam sekolah itu membuatku terperanjat sejenak.

Dia setengah berlari ke arahku. Rambutnya bergerak kesana-kemari seiring langkahnya yang pasti. Semakin ia dekat, semakin aku susah bernapas. Aku masih tidak percaya dengan tindakan impulsif Rega.

"Kita neduh di sana dulu. Ayo," ajaknya buru-buru. Dia menarik ringan lenganku hingga aku pun mengikutinya. Kami memasuki kios setelah berlari sekitar tiga meteran. Saat sampai, Rega belum juga melepaskanku.

Pandanganku berpendar mengamati sekitar. Bangunan sederhana ini ternyata masih beratap seng. Penyangganya juga terbuat dari kayu balok yang tidak terlalu besar. Walau terlihat kumuh karena banyak coretan di beberapa bagian temboknya, kios ini masih cukup layak. Beruntung suasana cukup sepi, jadi aku tidak khawatir akan ada yang memergoki kami.

Aku melepaskan diri dari pegangan Rega kala melihat dua kursi reyot di selasar kios. Langsung kududukkan diri sambil memeluk ransel erat. Menikmati hawa dingin yang lama-kelamaan membuat gigiku bergemeletuk nyaring.

Rega sendiri kulihat masuk ke dalam kios. Entah apa yang dilakukannya, aku tidak tahu. Lebih tepatnya tidak mau tahu juga.

Kudengar suara deheman dari arah belakang mengusik keterdiamanku. Menoleh dengan ogah-ogahan, aku menemukan Rega tengah berdiri canggung di sana. Dia menghampiriku, tapi tidak menatapku. Beberapa kali dia pilih meneliti sepatu hitam ber-sol putih miliknya, sebelum akhirnya berkata, "Ada toilet di dalam, lo bisa pake ini dulu."

Rega mengangsurkan dua buah benda persegi dalam bungkusan merah jambu. Tidak harus memiliki IQ tinggi untuk mengetahui apa yang terjadi kini. Aku bahkan gagal menyembunyikan raut syokku dan cepat-cepat menyambar pemberiannya.

Kenapa harus sekarang?!

Aku meraung dalam hati. Bergegas menjatuhkan ransel, kemudian berlari secepat kilat ke dalam kios. Berulang kali merapal, semoga bercaknya tidak sebanyak yang kubayangkan sehingga celana ini masih bisa kupakai. Oh, ayolah. Pantas saja moodku berantakan sejak semalam. Dan dua pemuda di mikrolet ... sudah pasti melihatnya.

Sialan!

"Del, lo pake jaket gue dulu. Gue taruh di handle pintu." Suara Rega yang terdengar dari luar toilet memecahkan lamunanku. Aku tidak menjawabnya sebab segera fokus pada pembalut di tangan.

Selesai dengan kegiatanku, perlahan aku menarik handle pintu toilet. Dan benar, kutemukan jaket jeans milik Rega menggantung apik di sana. Dari penampakannya sepertinya masih bersih. Waktu kuhidu pun aroma citrus dan lemon masih lekat. Sangat Rega sekali. Namun, bukankah tadi ia tidak mengenakan jaket? Dari mana jaket ini?

Kepalaku menggeleng singkat. Dari pada menduga-duga, lebih baik aku cepat-cepat memakainya. Usai mengikat dua lengan jaket pada pinggang, aku menyusul Rega ke luar. Mungkin sekarang hujan sudah reda dan aku bisa menghubungi Ayah lagi.

Tak banyak yang berubah ketika aku sampai di luar. Kecuali keberadaan motor milik Rega yang terparkir di depan toko. Rintik gerimis membasahinya, tapi sang empunya justru diam saja.

Decitan langkahku membuat Rega spontan menoleh. Senyum kecil terbit di ujung bibirnya. Entahlah, aku tidak tahu apa arti dari senyumannya itu. Yang berhasil kukatakan setelahnya adalah, "Makasih."

Rega mengangguk kecil. Satu tangannya mengangsurkan ranselku yang tampak kotor. Aku menerimanya dan langsung memakainya. Setelah itu kami berdua kompak memandangi motor hitamnya yang kuyup.

Kami sama-sama diam. Dia dengan isi kepalanya, sedangkan aku ragu untuk buka suara terlebih dahulu. Sejujurnya ada yang ingin kukatakan padanya. Namun melihat Rega diam saja, rasanya canggung untuk memulai.

"Tunggu hujannya reda, baru kita jalan," celetuknya dengan tangan terlipat di atas perut. Rega menatapku lama seakan aku adalah barang antik yang sepatutnya di dimuseumkan sejak dulu. "Lo mau ngomong sesuatu?" imbuhnya bertanya.

Walau sedikit terkejut, aku tetap mengangguk ragu-ragu. "Gue boleh minta tolong?"

Pemuda itu diam lagi. Tidak menjawab, mengangguk, ataupun menggeleng. Jadi kuartikan itu sebagai tanda setuju.

Sementara aku sibuk menyusun kata-kata, Rega menunggu dengan sabar. Tubuhnya menghadap penuh ke arahku, mempersilakan aku melanjutkan ucapan.

"Jauhin gue."

Sontak dahi Rega mengerut tak suka. Matanya memicing tajam dengan tangan yang perlahan diturunkan. "Kenapa?"

Kenapa?

Kenapa begitu saja dia harus bertanya lagi? Memangnya dia mau bertanggung jawab jika aku semakin jatuh cinta padanya?

"Kenapa, Del?" Rega terus mendesakku. Seperti anak kecil yang dilarang melakukan sesuatu, lalu bertanya tentang alasannya, dia pun terlihat begitu.

"Karena gue nggak tau harus mengartikan semua sikap lo itu sebagai apa. Jujur, Ga, gue bingung. Kadang lo baik banget, perhatian juga. Tapi di lain waktu, lo bisa jadi manusia super kaku dan cuek. Gue nggak tau harus gimana." Aku menghela napas. Membebaskan karbon dioksida dari dalam paru-paru. Mati-matian aku mengontrol emosi agar jangan sampai kelepasan. Bisa-bisa aku menanggung malu lagi di depan Rega.

"Terus mau lo gimana?"

Serius dia menanyakan itu?

"Gue mau lo konsisten, Ga. Kalo nggak suka sama gue, tolong jangan bersikap sok peduli begini. Tutup mata aja, pura-pura nggak tau tentang apa yang terjadi sama gue. Kayak tadi di kelas, di perpus. Lo bisa, kan?"

Semoga Rega tidak menyadari suaraku yang bergetar itu. Sungguh, aku tidak bermaksud kurang ajar dengan menyepelekan semua bantuannya. Aku pun tidak bermaksud menyakiti hati Rega dengan kata-kataku barusan. Hanya saja kurasa begitu lebih baik untuk kami berdua.

Aku bisa membatalkan tantangan itu dan melupakannya dengan mudah. Rega, dia bisa hidup tenang tanpa gangguan dariku.

"Sok peduli?" Dia tertawa sarkas. Tangannya lekas merogoh saku, mengeluarkan kunci motor sembari berjalan menerpa gerimis.

Aku bergeming tanpa melepaskan tatapan dari sosoknya yang mulai menyalakan mesin.

"As you wish." Setelah itu menarik pedal gas dalam-dalam. Meninggalkanku yang mematung bodoh di depan kios bersama jaket parasut miliknya.

In Memories #NupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang