[2.1]

86 94 7
                                    

Lama aku menunggu Rega keluar dari kantor guru, berharap laki-laki bertubuh tinggi nan tegap itu segera datang untuk mengantarkanku pulang. Tetapi nihil, sosoknya tak juga menunjukkan wujud meski jam telah menunjukkan pukul tiga sore.

Kekecewaanku meningkat seiring dengan rasa kantuk yang tak lagi tertahankan. Keinginan untuk menyusulnya lekas kubuang jauh-jauh. Aku enggan dicap pemaksa, penuntut, atau apapun sebutan buruk untuk itu. Sudah cukup tindakan bodohku selama ini. Aku tak mau menunjukkannya lagi.

Namun, sampai kapan aku harus menunggunya?

Di tengah dilema antara ingin menjemputnya atau tetap menunggu di sini, berakhir membuatku mengambil sebuah langkah berani. Bergegas aku bangkit, sedikit merapikan ujung rok yang kusut sebelum merogoh saku guna mengambil benda elektronik itu.

Tak butuh waktu lama untuk mengaktifkannya, sekarang aku sudah dapat memesan layanan transportasi online pada aplikasi antar-jemput. Kendati jarang menggunakan jasa driver, ponselku masih betah menyimpan aplikasinya. Kupikir sewaktu-waktu aku memerlukan bantuan mereka, seperti sekarang.

Sesudah mengisi alamat tujuan dan lokasi penjemputan, aku tinggal menunggu salah satu driver menerima tawaran. Tak apa mengorbankan sedikit waktu lagi. Yang penting aku bisa cepat pulang tanpa perlu melihat wajahnya.

"Del!"

Panggilan seseorang membuatku memalingkan tatapan dari layar ponsel. Netraku berpendar mencari sumber suara dan mendapati orang yang menjadi penyebabku menunggu lama akhirnya muncul juga.

Regasa Adhyaksa, dia menunggangi motor matic yang kucari-cari tadi dengan gagahnya. Barangkali jika aku tidak lelah, aku akan berlari menuju gerbang, menghampirinya bersama segudang kekesalan di dada. Tidak lupa pula menarik telinga Rega hingga merah, juga mengomelinya sepanjang jalan sampai turun ke tujuan.

Ya, aku ingin sekali melakukan itu. Tapi untungnya sekarang aku sedang lelah dan masih waras untuk bertingkah memalukan di hadapan Rega.

"Lo masih disini?" Tahu-tahu sosoknya sudah di depanku. Bertanya seolah tak pernah membaca pesan dari Aksa sebelumnya.

"Eh, i-ini mau pulang, kok. Masih … itu, nunggu Mas ojolnya," kataku terbata.

"Sama gue aja."

Aku menggeleng. "Duluan aja, Ga. Gue bareng Mas ojol."

Rega menatapku lekat. Dia enggan mengindahkan ucapanku dan memilih bergeming di atas motornya. Laki-laki itu menunjukkan sorot keberatan saat aku memintanya pulang lebih dulu yang memang terkesan menghindarinya.

"Sorry, gue nggak bermaksud ninggalin lo. Tadinya gue pikir lo udah pulang, jadi gue langsung cabut juga. Terus waktu di jalan, si Aksa nelpon gue. Dia nanya, apa gue udah nganterin lo balik? Karena gue bilang enggak, dia langsung nyuruh gue ngecek ke sekolah. Dan ternyata bener. Lo masih disini," jelasnya tanpa kuminta.

Barusan adalah kalimat terpanjang yang pernah kudengar dari mulutnya. Jujur, aku sempat mengira sosok di depanku ini bukanlah Regasa asli. Pasalnya Rega yang kukenal lebih banyak bicara hanya ketika sedang menyampaikan pengumuman atau saat sesi debat pada kerja kelompok saja. Selain daripada itu, Rega jarang bersuara, cenderung pendiam dan kaku.

"Ayo," ajaknya lagi, mengusik keterdiamanku.

Tak urung akhirnya aku mengangguk pasrah, menuruti permintaan Rega untuk mengantarku kembali ke rumah. Setidaknya misi pulang bareng ini tidak gagal—meski nyaris.

Aku lekas naik ke atas motor Rega setelah membatalkan pesanan ojek. Mengambil sikap duduk menyamping serta sebelah kaki menumpu di footstep, aku berpegangan pada lengkungan besi di belakang jok. Sebab itu adalah satu-satunya benda yang bisa menyelamatkanku kalau-kalau Rega berniat kebut-kebutan di jalan raya.

In Memories #NupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang