[11.1]

43 48 1
                                    

Kelas telah berakhir sepuluh menit yang lalu, meninggalkan kesan sepi dan lengang karena masing-masing penghuninya memilih segera pulang ke peraduan. Dengan sapu dalam genggaman, aku berdiri di pojok belakang. Mengamati keseluruhan ruangan yang berantakan.

Tirai penutup jendela kaca melambai-lambai tertiup angin, meja-meja berbaris tak beraturan, dan papan tulis yang penuh tulisan itu merupakan bukti kerusuhan. Belum lagi bola-bola kertas yang berserakan di lantai. Debu dan serbuk kayu, pasir membentuk jejak sepatu ikut menambahi pekerjaan kami. Kalau bukan karena tugas dan tanggung jawab, mungkin aku akan kabur dari piket kelas.

Derit meja yang digeser membuatku tersadar dari pengamatan singkat yang kulakukan. Perempuan itu, Nunna, mengeluarkan segenap tenaganya guna merapikan kembali barisan meja dan kursi. Tanganku masih betah menggenggam sapu, belum juga bersedia maju.

Sebenarnya kami tidak hanya berdua saja. Ada Saras yang menyapu teras serta halaman kelas, dan Dirga yang bertugas mengumpulkan juga membuang sampah. Seminggu sekali biasanya kami bertukar tugas. Ini dilakukan agar semua mendapat jatah kegiatan piket yang lain juga.

Sekarang aku kebagian menyapu bagian dalam kelas merangkap membersihkan papan tulis, sementara Nunna yang merapikan meja dan mengelap kaca. Satu orang lagi berpamitan pulang awal dengan alasan jadwal les privat yang mendadak dimajukan.

"Nun, gue mau minta pendapat," ujarku setelah sadar dari lamunan. Sejak kejadian di kantin siang tadi, kepalaku rasanya penuh sesak oleh banyak pertanyaan. Awalnya kupikir tidak membutuhkan pendapat orang lain mengenai masalah ini, namun semakin dipikirkan semakin pula fokusku melayang di awang-awang. Aku menyadari jika akhir-akhir ini aku banyak melamun dan butuh seseorang untuk mendengarkan.

Nunna berhenti mendorong meja pada barisan ketiga, bergegas menghampiriku yang bergeming tak jauh darinya. "Kenapa lo?"

Aku menaikkan pandangan, menubruk matanya yang penuh kilat penasaran. Persetan dengan saran anehnya nanti, aku butuh melepaskan beban di kepala ini.

"Em, menurut lo penting nggak, sih, kita tau masa lalu dari pacar kita?"

Sontak Nunna menaikkan sebelah alis, membidikku curiga sembari menyeringai sinis. Melihat reaksinya, aku buru-buru menambahi, "Maksud gue, gini—"

"Menurut gue penting, Lun. Dengan lo tau masa lalunya, lo jadi bisa menempatkan diri. Ngerti, nggak?" Perempuan berdagu belah itu memotong cepat, kembali meluruskan jajaran meja pada baris keempat.

Menempatkan diri? Apa aku perlu melakukan itu? Mencari tahu apa, siapa, mengapa, kenapa, dan bagaimana masa lalu yang Rega jalani sebelum bersamaku, kedengarannya sangat sukar.

Masalahnya aku tak mengenal banyak teman-temannya di sekolah. Katakanlah aku bisa menanyai satu-dua orang yang kutemui di ruang siaran tempo hari. Namun, apakah mereka benar-benar mengetahui seluk beluk dari Regasa Adhyaksa?

Apalagi ini tentang masa lalunya. Sesuatu yang tidak pernah ia singgung kala bicara denganku, terlebih dengan orang lain. Sesuatu yang mungkin hanya Aksa seorang yang tahu.

"Lo tau nggak, Lun? Rega pernah jadi orang paling bodoh waktu putus cinta. Dia ngelamun sepanjang hari, nggak makan teratur, nggak mau bersosialisasi sama orang-orang, termasuk gue."

Ya, hanya Aksa Janarisatya.

"Woi, Lun! Kok bengong, sih? Ati-ati kesambet lo ntar." Nunna memperingati. Cewek itu telah selesai dengan pekerjaannya merapikan meja. Kini giliranku yang menyapu lantai.

"Masih mikirin kata-kata gue? Ck, jangan cuma dipikirin, Lun. Harus dicari tau juga. Apa perlu gue turun tangan lagi?" Dirinya melanjutkan kala melihatku tak juga memberikan respon berarti.

Dengan santainya Nunna duduk di atas meja, berhadapan denganku yang masih berdiri kaku. Kakinya menyilang, menyebabkan roknya tertarik beberapa centi di atas lutut.

Aku menggeleng. "Gue bakal cari tau, Nun. Tapi—"

"Apa? Lo takut menyinggung privasi Rega? Terlalu ikut campur? Terlalu kepo? Pengin tau?" cecarnya.

"Bukan gitu. Gue cuma nggak yakin Aksa mau kasih tau. Sekali, dia pernah nyinggung soal Rega. Tapi udah gitu doang."

"Kenapa nggak langsung nanya ke orangnya aja, sih?"

Aku tertawa sarkas mendengar Nunna berujar demikian. Dia pikir semudah itu membuat Rega buka mulut? Kalau dengan Aksa yang termasuk teman dekatnya pun enggan, bagaimana denganku yang bukan siapa-siapa baginya?

Aku pikir kami masih perlu waktu adaptasi, sebelum pelan-pelan semua cerita mengalir sendiri. Bisa jadi Rega belum nyaman dengan kehadiranku yang tiba-tiba di hidupnya. Aku pun begitu, masih canggung untuk sekadar mengabarinya. Kami berdua sama-sama masih kaget, belum terbiasa, dan tentu butuh percaya satu sama lainnya.

"Kalo lo butuh bantuan, kabari gue, Lun. Gue bisa bikin Aksa buka mulut pake cara apapun." Nunna mengusap lembut bahuku, berusaha menyalurkan energi supaya aku tidak mudah menyerah. Dia juga mengingatkan kalau sebenarnya aku tak sendirian.

Kadang aku merasa beruntung mengenal Nunna yang bertangan terbuka. Ia tak segan membantu meski dengan cara di luar nalar sekalipun. Perempuan ini memiliki solidaritas yang tinggi, ditambah ringan lidah yang membuatnya cukup ditakuti sebagian murid Nusa Harapan.

Selanjutnya Nunna berdiri, sedikit merapikan ujung roknya yang tampak kusut sebelum mengambil kanebo kering untuk membersihkan jendela. Cewek itu melenggang keluar dengan tenang, seakan fakta mengenai perkelahian antara dirinya dan selingkuh Ethan siang tadi tidak pernah ada. Benar-benar mengherankan.

Segera aku menyelesaikan kegiatanku menyapu lantai. Melewati kotak demi kotak ubin keramik polos, membawa tumpukan debu abu-abu ke luar kelas. Selesai menyapu, aku mengambil penghapus papan tepat saat Nunna berpamitan pulang duluan. Tampangnya kelihatan lelah dengan keringat membanjiri area pelipisnya. Aku tak tega menahannya lebih lama, jadi kuiyakan saja permintaannya.

Dan kini tinggallah aku sendiri, kesusahan menghapus coretan pada bagian atas papan tulis. Sudah berjinjit, melompat kecil, sampai memakai alat pel untuk membersihkannya, namun tetap saja bekas coretan spidol itu belum hilang juga.

Apa aku perlu memakai tangga? Bagaimana jika meminta bantuan dari anak kelas sebelah? Argh … kenapa aku kebagian membersihkan papan, sih?!

Kepalaku mulai kehabisan ide. Kelelahan membuatku sulit berpikir jernih. Daripada terus-menerus memaksakan diri, lebih baik aku istirahat di balik kursi.

Nusa Harapan punya peraturan sekolah yang ketat. Salah satunya tentang piket kelas. Barang siapa yang tidak benar-benar menjalankan tanggung jawab yang diberikan, maka keesokan harinya akan dikenai sanksi. Biasanya berupa hukuman membersihkan halaman belakang. Atau paling parah sampai membersihkan kolam renang.

Aku pernah mengalaminya. Waktu itu juga disebabkan membersihkan papan dan jendela. Agaknya kedua-duanya telah menjadi musuh bebuyutanku sejak masuk ke sekolah ini.

Sebelum aku benar-benar berbalik arah dan merealisasikan niat, sebuah tangan lain dengan lancangnya merebut penghapus papan dariku.

Terkejut tentu saja. Lebih-lebih lagi seseorang di belakang sana terasa berdiri amat dekat denganku, nyaris menghimpit kalau saja aku tak lekas membalik badan.

Sial! Kenapa dia bisa ada disini? Bukankah hari ini jadwal ekskulnya? Dan kenapa dia selalu muncul setiap aku mengalami kesulitan?!

"Biar aku aja, Ra."

Ra lagi?

Sebenarnya siapa dia?

In Memories #NupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang