Desau dedaunan tertimpa rintik hujan adalah yang pertama kali menyambutku saat keluar dari perpustakaan. Di atas sana, tampak awan putih kelabu sedang memayungi langit, menambah kesan sendu di Selasa siang hari ini.
Hanya ada aku dan Nunna sekarang. Kami masih sama-sama berdiri di teras perpustakaan, bersandar pada pilar beton seraya memandangi gedung A dari kejauhan. Dari sini aku bisa melihat sebagian dari mereka duduk bergerombol, seperti tengah membahas sesuatu. Ada juga yang berlari menghindari percikan hujan dengan buku di atas kepala. Sisanya tampak usil menampung tetes hujan untuk kemudian disiramkan kepada teman.
Selanjutnya perhatianku jatuh pada ujung sepatu hitamku yang terkena cipratan air. Bukannya menghindar, aku justru membiarkan kulit sintetis itu kejatuhan rinai hingga tampak mengkilap dan basah. Terasa sejuk dan aku mulai menyukai bunyi 'tuk-tuk' yang bersumber dari mereka, dibandingkan nasehat Nunna tentang cara mendekati Rega.
"Selagi nunggu info dari Fatya, lo coba buntuti Rega, Lun. Cari tau kemana dia pergi waktu istirahat, atau lo sering-sering dateng aja ke ruang media. Gue denger-denger si Rega jadi ketua ekskul fotografi," bebernya yang hanya kubalas dengan anggukan malas.
Sepeninggal Fatya yang tadi izin menemui Aksa, Nunna jadi manusia yang super heboh. Gadis itu banyak bicara mengenai tips, trik, dan berbagai macam cara untuk membuat lawan jenis jatuh cinta. Aku tak tahu pasti dari mana dirinya mengetahui hal-hal remeh tersebut. Namun kuakui, dialah yang terlihat paling bersemangat jika menyangkut soal cinta dan sejenisnya.
Kalau boleh jujur, sebenarnya aku tidak mengharapkan informasi apapun dari Fatya. Terkait apapun yang berhubungan dengan Rega, kiranya telah pupus sejak dia mengetahui kebohonganku. Sudah kukatakan sebelumnya, kan? Aku malu. Teramat malu bahkan, hingga bertatap muka dengannya pun aku enggan.
Seandainya semesta masih ingin bercanda dengan menghadirkan sosoknya di sini, mungkin aku akan memilih pingsan saja daripada harus berhadapan langsung dengan Rega. Dia memang tidak mengatakan apa-apa setelah pulang dari rumahku, tapi setiap kali tatapan kami tak sengaja bersirobok, Rega seolah beralih profesi menjadi pakar mikro ekspresi.
Iris sejernih madu itu kelihatan teduh dan tajam di waktu yang bersamaan, membuatku merasa terintimidasi secara tidak langsung. Belum lagi gelagat tubuhnya yang kaku ketika tanpa sengaja kami berpapasan. Sungguh itu sangat tidak nyaman.
Terlalu hanyut dalam isi kepala sendiri, aku sampai tidak menyadari situasi sekitar. Makanya sewaktu Nunna menepuk punggungku dan tersenyum ramah pada seseorang yang lewat di belakang kami, aku serasa kehilangan keseimbangan diri.
"Eh, Pak Ketu mau kemana?" Dia menyapa, sementara aku membuang pandangan ke sekeliling. Kemana saja, asal tidak terpaku pada kacamata Rega yang berembun.
Tuhan, bisakah aku pingsan saja?
"Ruang media. Lo?" tanyanya balik. Nada suaranya sengaja dinaikkan satu oktaf supaya kami bisa mendengar jelas kalimatnya di antara lebatnya hujan.
Aku tidak berniat menjawab pertanyaan tersebut. Lagi pula kurasa Rega tidak bermaksud menanyaiku juga. Jadi yang kulakukan hanya menunduk sembari menunggu Nunna menjawab.
"Gue mau balik ke kelas. Nggak tau kalo Luna. Tadi, sih, katanya mau ke ruang media juga."
Mataku spontan membola kala Nunna sengaja menyeret namaku dalam pembicaraan mereka. Ketika kulirik, dia malah balas menyeringai lebar. Sorot antusiasnya yang perlahan redup akibat respon datarku tadi mendadak semakin marak. Kuyakin di kepalanya kini muncul banyak skenario-skenario yang siap meledak kapan saja. Tentu dengan aku yang menjadi korbannya.
Aku memutuskan berguru pada Nunna bukan berarti aku mau-mau saja 'disodorkan' untuk Rega. Kupikir tugas Fatya sebagai mata-mata sudah cukup membantu proses pendekatanku, tapi lagi-lagi aku salah.
"Oh, oke. Gue duluan," tandasnya. Lalu sepasang sepatu itu melangkah ringan menuju arah selatan, seiring dengan ekor mataku yang terus mengikutinya.
Lama kupandangi punggung kokoh itu hingga menghilang di balik tikungan. Entah mengapa rasanya menyesakkan saat Rega seakan tidak mengenaliku. Dengan santainya dia menyapa balik Nunna, bertanya, kemudian pergi begitu saja. Apa eksistensiku memang tidak senyata itu?
Tanpa sadar napasku berembus panjang. Hatiku sedikit kecewa mendapati Rega bereaksi seperti itu. Kembali kepalaku dipenuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak memiliki jawaban perihal sikap Rega yang suka angin-anginan.
Katakanlah memang kesalahanku yang berani membohongi Ayah. Lalu Rega marah sebab menuduhku telah menjebaknya. Tapi kenapa dia diam saja?
Seharusnya dia mengamuk saja, meminta penjelasan dariku tentang alasan mengapa aku membohongi Ayah. Daripada diam begini, aku jadi merasa serba salah.
"Udah kali, Lun. Jangan diratapi gitu. Nanti juga dia bakal berubah kalo udah suka sama lo." Nunna berkata seraya merangkulkan satu lengannya di leherku. Berlagak menasehati, tapi tindakannya tadi justru terkesan mendorongku ke pinggir perigi.
Dengusan kasar keluar dari indra penghiduku. Amarah, lelah, kecewa berbaur menjadi satu, memicu emosi baru. "Gue nggak peduli dia mau berubah apa enggak. Gue cuma nggak habis pikir sama isi kepala lo, Nun."
Selanjutnya aku mengangkat lengannya menjauh, memaku tatap pada Nunna sambil berjalan mundur menghindarinya.
Cukup, aku lelah. Pikiranku berisik sekali ingin menumpahkan segalanya untuk Nunna, sayangnya semua tertahan di ujung kerongkongan. Bukan aku tidak bisa, hanya lebih baik menghindari masalah. Aku takut apapun yang kukatakan dapat menyakiti Nunna kian dalam.
Hujan belum menunjukkan tanda-tanda reda. Namun, berdiri di depan Nunna pun tidak akan meredam gejolak di dalam dada. Alhasil, sepatu yang basah kupaksa menapaki tanah. Rambut kusut yang kuikat tinggi terombang-ambing ke kiri dan kanan. Semuanya terjadi begitu cepat. Secepat kakiku yang berlari menembus hujan tanpa henti.
Sungguh, aku tidak peduli jika nantinya terserang flu tiga hari.
✿✿✿
Terima kasih untuk yang sudah menunggu sejauh ini✧
KAMU SEDANG MEMBACA
In Memories #Nupa
Teen Fiction"Cuma tiga bulan, Ga. Setelah itu, lo bisa lupain semua yang terjadi di antara kita." "Kenapa cuma gue?" "Karena gue nggak yakin bisa lupain elo." ✿✿✿ Kalau bukan karena permainan konyol itu, aku tidak akan mengingkari janjiku pada Ayah. Aku tidak a...