[10]

44 48 3
                                    

Ibu berhenti menata peralatan makan saat aku menghampiri. Ini masih jam tujuh kurang, wajar jika wanita yang melahirkanku itu mengernyit bingung. Agaknya Ibu merasa janggal sebab biasanya aku baru turun ke meja makan setelah diteriaki untuk sarapan.

Apalagi dengan kehadiran kotak makan siang yang kuletakkan di tengah-tengah kami, kontan membuat Ibu menyelidiki dengan cara paling halus sekali.

"Tumben bawa bekal. Memangnya Adel ada acara di sekolah?"

Aku tahu itu jenis pertanyaan umum. Tinggal menjawab "ya" dan Ibu tak kan banyak bertanya lagi. Namun entah mengapa lidahku kelu menyampaikan kebohongan. Seketika takut dosa karena berani-beraninya membohongi orang tua.

Memilih fokus pada nasi goreng dan lauk pelengkapnya, aku hanya mengangguk kecil menanggapi Ibu, tanpa menatapnya yang tengah memasukkan kerupuk ke dalam toples bening. Mungkin sudah mencium dusta yang kulakonkan.

Maaf, Bu.

"Mau bawa kerupuk sekalian? Biar Ibu bungkusin." Ibu menginterupsiku lagi, tapi aku belum juga berani memandang wajah lembut itu. Aku tahu, aku memang pengecut. Sebab setelahnya aku malah berkata jujur. "Nggak perlu, Bu. Ini sebenarnya buat temen Adel."

Menutupi kenyataan bahwa bekal ini untuk Regasa saja aku gagal. Bagaimana bisa aku menyembunyikan hubungan kami selama itu? Bisa-bisa pacaran pura-pura ini berakhir sebelum tenggat waktu.

"Siapa? Fatya atau Nunna?" Ibu rupanya belum mau menyerah. Beliau berkata lagi kala aku belum juga memberi reaksi. "Kalau buat temen harusnya kasih yang istimewa, kan?"

Kepalaku mengangguk patah-patah, lalu menutup kotak bekal tanpa menghiraukan Ibu lebih lama. Aku ingin pergi ke kamar dan menyimpannya segera ke dalam ransel sebelum Ayah yang baru tiba turut mencurigaiku.

"Loh, nggak sarapan, Nak?" Pertanyaan itu sukses menghentikan ayunan langkahku. Kegugupan membuatku tanpa sadar mencengkeram benda yang sedang kupegang. Itu Ayah, manusia selain Ibu yang pasti bisa dengan mudah menangkap bualanku.

Membalik badan, kutemukan Ayah berdiri menjulang dengan mata menyipit. Tangannya membawa sebuah dasi polkadot sewarna jas yang tersampir di punggung kursi. Mungkin berniat meminta Ibu memasangkannya, sebelum kepergianku menghalangi itu.

"I-itu …"

"Adel mau nyimpan bekal temennya dulu, Yah. Habis itu balik lagi buat sarapan," potong Ibu bermaksud menjelaskan. Wanita yang memakai gaun rumahan sederhana itu mengambil alih dasi Ayah, cekatan memasangkan seakan ingin menyasarkan atensi pria di hadapannya.

Merasa dasi telah tergantung rapi pada kerah kemeja, Ayah kemudian memakai jasnya. Beliau menarik kursi untuk diduduki, sementara Ibu berjalan mendekatiku. "Ini kerupuknya." Dua bungkus kerupuk udang renyah terangsur di hadapanku. "Semoga temen Adel suka sama nasi goreng buatan Ibu. Oh, kapan-kapan suruh main kesini, Del. Ibu juga mau kenalan."

Refleks netraku membola. Jantungku berdegup keras seiring napasku yang kian cepat. Aku percaya insting seorang Ibu tak kan pernah salah, terutama soal anaknya. Dan bisa jadi kini rahasiaku telah terendus beliau, namun Ibu belum mau mengatakan terang-terangan.

Bukankah ini masih terlalu dini untuk terbongkar? Paling tidak aku harus menjaga rahasia ini sampai satu-dua bulan. Setelah itu terserah. Setidaknya aku dan Rega pernah menjalin hubungan. Tapi dua hari? Ini bahkan lebih cepat dari siklus menstruasi.

Menutupi gelisah, aku mengangkat sudut-sudut bibirku. Mengulas senyum kecil sambil mengangguk. "Oke." Lantas secepatnya menaiki anak tangga.

Belum genap menapaki empat balok-balok yang disusun semakin tinggi, celetukan Ayah menahanku tinggal lebih lama lagi. Aku berhenti dengan perasaan was-was yang mendominasi.

In Memories #NupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang