Dulu sekali aku pernah bermimpi duduk bersama Rega. Menikmati hamparan rumput hijau yang luas dan eloknya danau buatan di tengah padang. Hanya duduk berdua dengan bibir terkunci tanpa suara. Menikmati sepoi angin yang menerpa, menerbangkan helai demi helai surai kusutku hingga menghalangi pandangan.
Begitu tenang, damai, dan romantis.
Dan kini setengah dari mimpiku telah menjadi nyata. Bagian aku duduk di sampingnya memang benar terjadi, tetapi bukan untuk menikmati padang rumput dan silir angin, melainkan untuk sebuah pengakuan dosa.
Saat netranya menemukanku, Rega sontak berhenti mengunyah. Tatapannya memicing tajam nan mengintimidasi, seakan aku adalah hewan buruan yang sudah dinantikan. Membuatku gugup setengah mati.
Kalau saja binar kecewa tidak terpancar jelas di mata Nunna dan Fatya, mungkin aku tidak akan punya keberanian sebesar ini untuk menemui Rega. Lebih baik aku ke perpustakaan dan menyelam dalam romansa fiksi daripada duduk di sebelahnya guna menjelaskan perkara permainan konyol itu.
"Kenapa?"
Satu kata tanya darinya sukses menciutkan nyaliku. Rasanya aku ingin kabur dan menghilang. Malu. Apa yang akan ia pikirkan setelah aku menyuruhnya menjauhiku. Mana belum genap 24 jam lagi!
"Ga, gue mau minta maaf. Sebenernya ..." Ucapanku terputus sebab tercekat air liur di kerongkongan.
Oh, ayolah Luna! Masa gini doang nggak bisa, sih?
Detik selanjutnya aku menunduk, melarikan tatapan dari Rega. Jemariku saling meremas di bawah meja, senada dengan bibirku yang kugigit gemas. Barulah saat itu aku menguatkan hati, perlahan berani menceritakan bagaimana awal mula kekacauan ini terjadi.
Selama bibirku mengoceh panjang lebar, Rega bersikap pasif. Dia hanya diam memandangku lewat celah rambutku yang terurai menutupi setengah wajah. Sesekali ia mengangguk kala aku tak sengaja meliriknya, lalu lanjut diam lagi.
"Jadi gitu awalnya. Gue sama sekali nggak berniat mempermainkan elo, Ga. Justru kita yang lagi dipermainkan disini," tutupku mengakhiri perbincangan. Kilas balik permainan Truth or Dare itu membuatku merutuk kesal dalam hati. Terlebih untuk diriku sendiri yang bodohnya termakan tipu muslihat Nunna.
Andai saja kala itu aku dapat menolaknya, pasti kami berdua tidak akan sebegini canggungnya. "Nggak apa-apa kalo lo belum bisa maafin gue. Yang penting sekarang lo udah tau semuanya," sambungku sebab melihatnya masih setia diam.
"Jadi ini cuma sebatas tantangan?" Alis tebal Rega terangkat tinggi, memastikan dugaannya sendiri.
Kebiasaan. Dari sekian banyak yang kuucapkan, kenapa dia selalu menangkap hal-hal yang bikin salah paham? Rega ini memang suka cari masalah, ya?
Aku mengangguk ragu. "Iya kayak gitu." Menebalkan muka, aku lanjut bertanya, "Lo mau nggak bantuin gue?"
Apa yang barusan kukatakan? Astaga, bodoh! Bisa-bisanya menanyakan sesuatu yang sudah dapat kuterka jawabannya. Pastilah Rega menolak. Di kepalanya, permainan ini sama sekali tak berguna. Ngapain juga dia harus mengikutinya?
Tapi kalau aku tidak begini, kapan tantangan itu akan berakhir? Semakin lama aku mengulur waktu, semakin lama pula selesainya. Lagi pula sudah terlanjur basah juga, mandi saja sekalian.
Aku tak sekalipun mengalihkan pandangan darinya, menatapnya yang tampak curiga. Bibir Rega terkatup rapat, tetapi tidak dengan matanya yang memancarkan seribu tanya.
Sebelum ia berpikiran macam-macam, buru-buru aku menambahkan, "Anggap aja ini semacam bentuk kerja sama. Lo bantuin gue, gue ...." Ucapanku terputus. Netra teduh Rega menghipnotis jiwaku yang lemah ini, membuatku terdiam lama dengan pikiran penuh.

KAMU SEDANG MEMBACA
In Memories #Nupa
Fiksi Remaja"Cuma tiga bulan, Ga. Setelah itu, lo bisa lupain semua yang terjadi di antara kita." "Kenapa cuma gue?" "Karena gue nggak yakin bisa lupain elo." ✿✿✿ Kalau bukan karena permainan konyol itu, aku tidak akan mengingkari janjiku pada Ayah. Aku tidak a...