"Tadinya dia nitipin ke gue, bilangnya mau naik mikrolet aja. Eh, malah disuruh anter kesini."
"Rega pernah jadi orang paling bodoh waktu putus cinta."
"Dia ngelamun sepanjang hari, nggak makan teratur, nggak mau bersosialisasi sama orang-orang, termasuk gue."
"Gue rasa Rega yang sekarang udah jauh lebih baik dari yang dulu."
"Dan gue percaya lo ikut andil merubah Rega."
"Diem!" pekikku seraya menggebrak meja kayu. Suara sumbang Aksa yang semula terus berputar di ingatan mendadak hilang, berganti tatapan kaget dari dua pemudi yang duduk di depanku. Buru-buru aku memandang sekitar dan langsung tersadar dimana diriku sekarang.
Kantin. Jam istirahat pertama setelah peliknya bergulat dengan rumus matematika. Dan beratnya percobaan menghindari Rega.
"Lo masih marah ke gue, Lun? Kan gue udah minta maaf tadi." Nunna berkata tegas. Ia merengut judes ke arahku.
Di sampingnya, Fatya balas menyorotku aneh. Kening lebarnya berkerut-kerut tipis dengan mata memicing tajam. "Lo ada masalah? Cerita sini, jangan ngelamun terus tiba-tiba teriak. Ngagetin tau!"
"Sorry," gumamku seraya tersenyum canggung.
Pesanan kami datang tak lama kemudian. Satu mangkok bakso penuh sambal milik Fatya, satu mangkok mie yamin tanpa pangsit favorit Nunna, dan lemon tea hangat untukku. Tanpa ba-bi-bu, mereka menyantapnya dengan lahap. Mulai melupakan sejenak kejadian tadi.
Aku sendiri sibuk mengaduk gelas menggunakan sedotan sambil memandangi dua buku novel romansa yang diberikan Nunna. Dirinya menepati janji untuk mengganti sumber bacaanku. Sekarang dua bukti fisik itu sudah tergeletak pasrah di hadapanku.
Abrakadabra dan Cinta Monyet Anak Remaja adalah tajuknya. Mengutip dari apa yang dikatakan sepupunya Nunna, novel ini termasuk best seller di banyak toko buku. Berbondong-bondong para gadis mencoba trik jitu menaklukkan lawan jenis yang ditulis si pengarang. Hasilnya, 99% mereka sukses menggaet hati pemuda incaran yang konon katanya sulit ditundukkan.
Melihat warna sampulnya yang cerah dan menyilaukan mata, sejujurnya aku mulai meragukan. Meski dari survei mengatakan 99% persentase keberhasilan, tetapi masih ada 1% kegagalan yang mungkin terjadi. Apalagi sekarang hubunganku dengan Rega sedang tidak baik-baik saja. Apa mungkin kesempatan itu ada?
Semalam di perjalanan pulang pun aku lebih banyak bungkam. Diam merenung setiap Aksa mencoba mengajakku bicara di dalam mikrolet lain yang kebetulan melintas. Sampai saat ini pun, kepalaku masih memutar ulang semua kata-kata Aksa, membuatku nyaris gila sebab terlalu berpikir keras.
"Lun, lo kenapa?" Pertanyaan dari Fatya membuatku menengadah. Kutatap manik hitam sepekat arang miliknya dengan perasaan was-was. Aku ingin berbohong, tapi Fatya pasti bisa mencium bualanku. Jadi aku pilih menggeleng. Kusesap asam manis minumanku untuk mengalihkan perhatian.
Hari ini cuaca cukup cerah. Itu sebabnya kami memutuskan duduk di area kantin indoor. Fatya berpendapat, makan makanan berat yang fresh from the kitchen memang cocoknya ditemani embusan udara dari air conditioner. Panas, pedas, dan sisa rumus matematika di kepala merupakan kombinasi yang bisa meruntuhkan kewarasan. Sehingga kami butuh sesuatu yang dapat mendinginkan sebelum kembali dihadapkan oleh pelajaran.
"Tau, nih. Nggak biasa-biasanya diem begini. Sariawan, lo?" sambar Nunna.
Aku menggeleng lagi. "Gue lagi dapet."
Bibir Nunna dan Fatya kompak membentuk huruf 'o' sambil mengangguk-angguk pelan. Setelah itu mereka lanjut makan dalam diam. Keduanya terlihat berkonsentrasi dengan mangkok masing-masing bak sedang melangsungkan perlombaan.
Karena bosan memandangi Nunna dan Fatya bergantian, aku mengambil satu buku dan mulai membukanya. Abrakadabra! Aku sulap kamu jadi jatuh cinta. Itu adalah kalimat pertama yang kubaca setelah kata pengantar dan daftar isi. Aku hampir kelepasan tertawa. Huh, ada-ada saja. Mana mungkin membuat seseorang jatuh cinta semudah membaca sebuah mantra.
Lagi, aku membalik halaman selanjutnya. Di sana terlihat sebuah gambar penyihir dengan topi kerucut bermotif bintang berdiri di samping gadis berkuncir dua. Mereka nampak menunjuk-nunjuk ke arah sang pemuda. Baiklah, sepertinya gambar aneh ini sudah cukup mendeskripsikan isi dari buku. Tak heran banyak orang yang membelinya untuk mencoba peruntungan.
Sedang fokus mengamati kejanggalan-kejanggalan buku Abrakadabra, tiba-tiba Fatya menyenggol lenganku. Dagu bulat gadis itu mengedik ke depan bersama alisnya yang naik turun.
Aku yang kebingungan mulai menolehkan kepala ke belakang. Kutemukan Rega berdiri celingukan di antara ramainya murid-murid Nusa Harapan. Ia memegang kotak styrofoam serta sebotol air mineral.
Belum sempat aku memberikan reaksi atau setidak-tidaknya menyembunyikan wajah agar dia tidak melihatku, Nunna lebih dulu memanggilnya.
"Ga!" Tangan pemudi itu melambai antusias, menyuruh Rega menempati salah satu kursi di meja kami. Kami beradu pandang selama beberapa detik, sebelum gelengan disertai senyum tipis laki-laki itu membuat jantungku serasa ditikam batu.
Rega benar-benar menjauhiku.
Dia benar-benar menuruti keinginanku.
Oh, ayolah. Seharusnya aku tidak perlu merasa sesak begini. Bukankah aku yang menyuruhnya semalam? Dan sekarang harusnya aku berbahagia karena lebih mudah melupakannya. Tapi, binar matanya yang redup itu seolah menyalahkanku. Membuatku merasa sedang berada di ujung jurang.
"Lo nggak lagi nyembunyiin sesuatu dari kita kan, Lun?" tanya Fatya curiga usai Rega berlalu. Dirinya mencuri pandang pada Nunna, seolah memerintah Nunna untuk mencurigaiku juga.
"Enggak kok. Nggak ada yang gue sembunyiin."
Nunna berdecih. "Bohong banget! Berapa kali harus gue bilangin, lo nggak bakat jadi pembohong, Lun. Udahlah jujur aja sama kita," komentarnya.
Aku meneguk ludah susah payah. Tenggorokanku mendadak kering sampai suaraku jadi tercekat. Kuteguk lagi lemon tea milikku banyak-banyak tanpa menggubris tatapan bertanya dari keduanya.
"Fat, lo inget nggak? Dulu ada yang pernah nyuruh kita jujur kalo ada masalah. Cerita, jangan dipendem sendiri. Eh, sekarang yang nyuruh malah—"
"Fine. Gue nyuruh dia jauhin gue," jujurku akhirnya. Sengaja aku menggunakan kata ganti 'dia' untuk merahasiakan siapa yang sedang kami bincangkan. Walau Rega sudah keluar dari kantin indoor, tetap saja aku takut ada yang mengadu padanya. Bukan tak mungkin di antara kami, ada seseorang yang juga mengenal Rega.
"Apa?!" Fatya dan Nunna kompak berseru.
Aku mendesis. Mengedarkan pandangan ke sekeliling sebelum melotot tajam ke arah mereka. Oke, wajar mereka kaget dengan ucapanku barusan karena aku memang baru memberitahu mereka. Tapi nada suara mereka itu loh yang kedengaran heboh. Bisa-bisa kami disuruh pindah ke kantin luar.
"Gue belum batalin dare kita, Lun. Dan lo juga udah sepakat bakal lanjut sampe tiga bulan ke depan. Kok sekarang malah jadi gini?" kejar Nunna tak terima. Bibirnya yang merah sebab liptint dan panasnya mie yamin itu mencebik sebal. Sirat wajahnya memancarkan aura permusuhan. Nunna bahkan berhenti menyendok mienya dan sigap menyingkirkan mangkok berlogo ayam itu ke samping.
Mendadak pendingin ruangan seakan tidak berfungsi. Tatapan Nunna yang mengintimidasi membuat nyaliku menciut. Niat hati ingin meminta ia menghentikan tantangan konyol itu, namun lidahku malah terasa kelu.
Fatya menatapku prihatin. Kepalanya mengangguk kecil menyetujui kata-kata Nunna. "Nunna bener, Lun. Gue juga udah pernah peringati sebelumnya, tapi lo tetep kekeh penuhi dare itu. Kenapa sekarang lo begini?"
"Gue—"
Nunna memotong. "Pokoknya lo harus minta maaf, Lun. Lo baik-baikin dia, lo ajak ngobrol. Kalo perlu kalian dating berdua ke mall, taman, atau ke mana kek. Gue nggak mau semua usaha yang kita lakuin berakhir sia-sia kalo sampe dare ini berhenti di tengah jalan," tutupnya memberi ultimatum.

KAMU SEDANG MEMBACA
In Memories #Nupa
Teen Fiction"Cuma tiga bulan, Ga. Setelah itu, lo bisa lupain semua yang terjadi di antara kita." "Kenapa cuma gue?" "Karena gue nggak yakin bisa lupain elo." ✿✿✿ Kalau bukan karena permainan konyol itu, aku tidak akan mengingkari janjiku pada Ayah. Aku tidak a...