[4]

69 78 10
                                    

Rintik hujan masih setia menimpa atap sewarna terakota di atas sana. Mendungnya bahkan membuatku perlu menyalakan lampu utama ruangan yang berisi bilik-bilik kecil ini, sebelum kemudian memasukkan pakaian basah ke dalam kantong plastik.

Untunglah seragam olahragaku tertinggal di dalam loker penyimpanan tempo hari, sehingga aku bisa memakainya di keadaan darurat seperti ini. Kalau tidak, mungkin aku harus meminjam sarung ke musala.

Rencananya aku akan kembali ke ruang loker untuk menaruh bungkusan itu, lalu mengambilnya pada jam pulang sekolah nanti agar tidak dicurigai. Ya, memangnya siapa yang tidak bertanya-tanya melihat seorang gadis menenteng kantong plastik ke sana kemari? Melihat seragamku berbeda saja sudah pasti mereka curiga.

Namun, biarlah. Toh, mereka tidak akan bertanya terang-terangan. Paling-paling sayup bisikan yang nanti sampai ke pendengaran. Tidak masalah. Selama aku tidak melewati ruang media, kurasa segalanya akan baik-baik saja. Kecuali jika Rega tiba-tiba menampakkan batang hidungnya.

Jujur, aku belum siap bertemu dia, terlebih Nunna. Mungkin ini terdengar kekanakan, tapi aku tidak dapat membohongi diri sebab masih kesal pada mereka. Kalau diingat-ingat lagi, sungguh ini bukan salah siapa-siapa. Rega mungkin kecewa, Nunna mungkin hanya ingin aku menyelesaikan tantanganku segera, dan aku … aku cuma sedang emosi saja. Hanya itu, yang sebenarnya bisa cepat diselesaikan jika ego kami tidak sama-sama tinggi.

Ah, sudahlah. Biar kupikirkan itu nanti. Lagi pula kuyakin Nunna bukan tipe orang pendendam. Dia pasti dapat memahami emosiku saat itu.

Sekarang waktunya aku merencanakan kemana langkahku selanjutnya. Jelas, kembali ke kelas bukanlah solusi yang tepat. Aku tidak ingin mendapat pertanyaan macam-macam dan berakhir membuatku bercerita panjang lebar—untuk saat ini. Barangkali nanti, kala suasana hatiku sudah membaik, emosiku juga telah stabil, aku akan menceritakannya.

Setelah membungkus semua pakaian basah, aku mendudukkan diri pada sebuah bangku panjang. Jemariku perlahan menyisir pangkal sampai ujung rambut lepekku yang kuyup. Balkon gedung C mendadak terlintas di pikiranku. Agaknya tempat yang jarang terjamah banyak orang itu cocok menjadi pelarianku sementara.

Lokasinya tidak terlalu jauh dari ruang loker, tapi untuk mencapainya, aku mesti melewati ruang media. Satu ruangan itu yang dari tadi terus kuhindari sampai-sampai aku rela berjalan memutar arah supaya tidak melaluinya.

Namun jika aku tidak ke sana, aku harus kemana lagi?

"Lun! Lo di dalam?!"

Suara perempuan disertai ketukan pintu yang kencang mengagetkanku dari lamunan. Buru-buru aku berdiri, lalu bersikap bak pengecut dengan mengambil langkah mundur.

"Siapapun di sana! Tolong buka pintunya!" Lagi, dia berteriak. Kali ini lebih keras dari sebelumnya.

Kakiku gemetar, tanganku mengepal erat, reaksiku setiap kali ketakutan. Aku bisa menebak siapa yang berdiri di balik pintu itu hanya dari suaranya. Suara yang sering wara-wiri di telingaku meski aku sedang memejamkan mata. Pasti itu Fatya.

"Adeluna! Gue yakin lo di dalam!"

Kuteguk liurku gugup. Merasa tak memiliki pilihan lain, aku nekat membukakan pintu untuknya. Seiring dengan papan persegi itu menganga, sosok Fatya kian terlihat nyata.

Ekspresi pertamanya ketika melihat wujudku adalah kaget. Netranya terbelalak lebar dengan cuping hidung yang kembang-kempis. Sorotnya menelitiku dari atas ke bawah, kemudian balik ke atas lagi dan berhenti tepat di kedua manik mataku. Kami saling bertukar tatapan dalam diam. Dia tampak syok sekali, tapi aku malah menyunggingkan seulas senyum tipis untuknya.

"Lo kenapa?" Adalah kata selanjutnya yang keluar dari bibir Fatya. Kini dia tidak lagi diam, Fatya mencengkeram kedua bahuku dengan binar yang memancarkan kekhawatiran.

In Memories #NupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang