Aku sedih, tapi juga merasa bingung dan kesal sekaligus. Sedih karena penolakan Rega tentu saja. Bingung karena aku sendiri tidak tahu mengapa aku harus bersedih seperti ini. Kesal, yang ini sudah jelas karena Nunna.
Andai tadinya dia tidak kembali ke kelas setelah mengambil perona bibir yang ditahan guru BK, mungkin aku tidak perlu merasa campur aduk begini.
Ah, mengingat kejadian tadi rasanya malu sekali. Beruntung Pak Anthony datang tak lama kemudian, diikuti Rega yang santai saja berjalan di belakangnya. Bersikap seperti biasa seolah lupa Nunna menyerukan apa. Seolah penolakannya padaku tidaklah pernah terjadi sebelumnya.
Lalu, Pak Anthony membuka kelas dengan pertanyaan seputar materi Minggu lalu dan karena itu pula aku dapat mengenyahkan sejenak overthinking yang menyerbu penuh kepalaku. Sampai ketika lonceng berdentang, disusul sorak-sorai dari kelas lain, aku baru bisa menghela napas lega. Bergegas mengemasi peralatan dan kabur menerobos gerimis adalah jalan ninjaku agar terhindar dari Nunna, Fatya, juga Regasa Adhyaksa.
Lantas halte-lah yang akhirnya menjadi tempatku menenangkan diri sekaligus menunggu jemputan Ayah. Dengan ponsel menyala yang layarnya memperlihatkan menu panggilan, aku mencoba menghubungi Ayah berulang kali. Terhitung sudah enam panggilan berakhir suara operator, tetapi Ayah belum juga menjawabnya.
Percikan gerimis masih menimpa atap fiber hijau di atasku, pertanda hujan belum juga reda meski petang akan datang. Dingin kurasakan merambat dari ujung kuku hingga leher, menyebabkan nyeri di area perut bawahku kian menjadi.
Sakit. Beberapa kali aku bahkan meringis menahan nyeri yang mendadak hilang-timbul.
"Nunggu mikrolet?" tanya seseorang tiba-tiba.
Aku menggeleng singkat tanpa menatapnya. Bibirku merapat seiring nyeri hebat yang menghantam perutku. Fokusku pecah antara ponsel di genggaman dengan rasa ingin menangis sejadi-jadinya.
"You okay?" Nada suaranya berubah panik kala aku melepas ransel dan pilih berjongkok di dekat pagar pembatas halte, tepat saat sebuah mikrolet berhenti. Tanganku erat memegangi besi pembatas seraya menunduk. Orang-orang yang melihatku pasti mengira aku sedang menangis akibat ketinggalan mikrolet jurusan.
"Adel, ayo gue bantu," ujarnya khawatir. Sebelah tanganku dikalungkan ke bahunya yang lebar, sedangkan tangannya sigap meraih pinggangku, membantuku berdiri.
Aroma maskulin seketika menguar, merengsek masuk melalui indera penciumanku yang selanjutnya diproses oleh otak. Baunya seperti citrus bercampur lemon yang menyegarkan, membuatku hampir-hampir hilang kendali kalau tidak segera menyadari.
Deg!
Siapa tadi katanya?
Adel?
Bulu kudukku meremang. Sesaat napasku tertahan bersamaan dengan rasa nyeri yang mendadak lenyap entah kemana. Sewaktu kepalaku menoleh, aliran darahku serasa berhenti. Sangat syok menemukan wajah Rega yang berjarak terlalu dekat dengan wajahku.
Refleks kudorong ia menjauh. Kami bertatapan selama dua menitan. Sampai aku benar-benar bisa mengendalikan ritme detak jantungku sendiri, barulah sepatah kata berhasil kusuarakan. "Ngapain?"
Kupeluk tubuhku lekat. Tak ingin membiarkan satu orang pun sembarangan menyentuhku seperti apa yang dilakukan Regasa. Walau tidak menyakiti, sejujurnya sentuhannya barusan terasa sangat menggangu. Aku bahkan masih bisa merasakannya sampai sekarang.
Kemudian klakson mikrolet berbunyi, mengingatkanku akan keberadaan kami saat ini. Pandanganku menyapu area halte, lantas menyadari kalau cuma ada kami berdua di sini. Manusia lain yang tadi ikut duduk bersamaku kutemukan duduk menyamping di dalam mikrolet, menyaksikan drama picisan yang aku dan Rega perankan.
Angkutan umum beroda empat itu membunyikan klaksonnya sekali lagi. Seakan menunggu dengan tidak sabaran.
Seharusnya dia mengerti kalau sejak awal aku tidak berniat naik ....
Mataku membola menatap ransel biru gelap kesayanganku yang tergeletak tak berdaya justru telah berpindah tangan. Rega, laki-laki yang menjadi pelaku malah tenang saja mengangkat ranselku, kemudian membawanya memasuki mikrolet.
"Tunggu!" Aku berusaha menghentikannya, tetapi Rega seolah tidak mendengarkan seruanku.
Argh, sial!
Bagaimana dengan jemputan Ayah?
Terpaksa aku mengikutinya masuk ke dalam ruangan pengap yang sebagian dihuni oleh anak sekolah itu. Rega mengambil duduk pas di belakang pengemudi sembari memangku ranselku. Aku sendiri mau tak mau turut serta duduk di sampingnya.
Dia ini kenapa, sih? Tadi di kelas cueknya kebangetan. Sekarang sok pura-pura perhatian. Kan aku jadi bingung mau lanjut suka atau pilih menyerah saja?
"Balikin," bisikku pelan, namun menusuk.
Bukannya menuruti perintahku, Rega justru memalingkan wajahnya ke arah sopir mikrolet yang bersenandung ria. Kakinya menyentak kecil sesuai alunan kendang dari sebuah lagu koplo yang tengah hit. Satu perempat perjalanan kami habiskan untuk mendengarkan lagu-lagu sejenis itu via pengeras suara di atas dashboard mikrolet.
"Ga." Aku tidak menyerah. Kugumamkan namanya berkali-kali dan reaksinya tetap sama. Tidak mengindahkan ucapanku.
Sayup-sayup bisikan membuatku menolehkan kepala. Persis di depanku, dua orang laki-laki berseragam putih-abu tampak terkikik geli. Mereka kompak menyeringai mesum kepadaku.
Inilah alasan utama yang menyebabkan Ayah melarangku pulang dengan mikrolet. Beliau selalu berpesan agar aku tetap menunggunya datang. Atau kalau sedang kepepet, aku lebih memilih naik ojol daripada masuk kendaraan umum satu ini. Selain harus duduk berhimpitan, udara pengap, serta berisik, orang-orang seperti mereka itu juga salah satu faktornya.
Netraku akhirnya jatuh pada kain yang membungkus tubuh, lalu turun ke kaki jenjangku. Tidak ada yang salah. Aku masih mengenakan seragam olahraga berlengan panjang. Celana training kuning cerah ini juga menutup sampai mata kaki. Terus, kenapa mereka menertawakanku?
Sibuk menduga-duga, tiba-tiba aku dikagetkan dengan kehadiran ransel yang diletakkan asal di atas pahaku. Kulirik Rega yang juga sedang mengamati dua pemuda itu dari balik kacamatanya. Kendati aku tidak bisa membaca ekspresinya, tapi aku punya firasat bahwa Rega semacam memberikan peringatan kepada mereka. Melalui sorot super intens itu, ia seakan tengah menguliti keduanya hidup-hidup.
"Ga," panggilku lagi. Kali ini bermaksud melerai mereka bertiga. Aku tidak mau aura mencekam ini semakin lama mengepung kami. Apalagi kalau sampai terjadi perkelahian setelahnya. Sangat merepotkan.
"Re—shh .…" Aku kembali meringis saat nyeri itu datang lagi. Bagai debur ombak tenang yang menabrak karang. Dia bergulung hebat di dasar perutku.
"Jangan bohongin gue lagi," ucapnya dingin tanpa perlu melihatku. Dia terlampau berambisi memenangkan kompetisi adu tatap itu.
Daripada aku terus memanggilnya dan berakhir sia-sia, kuputuskan untuk menghentikan mikrolet di pertengahan jalan. Masa bodoh dengan Rega. Yang penting ranselku sudah teramankan.
"Kiri, Bang."
Rega sontak menoleh dengan tatapan kaget. Ditahannya lenganku saat akan beranjak keluar. "Gue bakal anterin lo sampe rumah." Pupil netranya bergerak gelisah. Ada kecewa, khawatir, serta rasa kesal yang terjebak di dalam lensa secokelat madu itu.
Namun aku enggan mengacuhkan. Buru-buru kutarik lenganku sembari melangkahkan kaki pada pijakan besi, kemudian berlari kecil di bawah langit berawan kelabu. Dengan memeluk ransel di depan dada, aku nekat menembus gerimis. Secepatnya aku harus menemukan tempat berteduh, setelah itu aku akan memesan ojek online dan pulang.
Sungguh aku tidak peduli siapa yang akan membayar ongkos mikrolet nanti, atau apakah Rega tetap meneruskan pertarungannya melawan dua pemuda itu. Aku benar-benar tidak peduli lagi.
Apalagi yang bisa kukhayalkan dari manusia berwajah datar, dengan kepala sekeras baja, serta bersikap labil seperti Rega?
Berharap dia mengejarku? Kurasa itu hanya terjadi di alam mimpi.

KAMU SEDANG MEMBACA
In Memories #Nupa
Teen Fiction"Cuma tiga bulan, Ga. Setelah itu, lo bisa lupain semua yang terjadi di antara kita." "Kenapa cuma gue?" "Karena gue nggak yakin bisa lupain elo." ✿✿✿ Kalau bukan karena permainan konyol itu, aku tidak akan mengingkari janjiku pada Ayah. Aku tidak a...