PROLOG

164 24 72
                                    

Diderasnya hujan malam. Seorang bocah laki-laki sedang lari dari rumahnya yang tak pernah ia anggap itu. Dengan kaki yang tidak beralas apa-apa dan kaos lengan pendek dan celana yang hanya selutut, bocah itu berlari sekecenang-kencangnya. Padahal ia sendiri tak tau tujuannya kemana. Dia hanya ingin kabur dan lari dari kenyataan dan hidupnya yang pahit ini.

Kapan dia akan merasa suatu tempat itu adalah rumahnya? Kapan ia akan menemukan tempat itu? Bocah itu terus berlari kencang dengan air mata yang perlahan berjatuhan dari matanya walaupun tersamar oleh air hujan yang membasahi wajahnya. Terus berlari tanpa tujuan, tapi ia tidak peduli.

Dia terus saja berlari, dengan tubuh mungilnya yang tertusuk oleh udara dingin karena air hujan. Bibirnya yang bergetar menahan sesak dan dingin ia abaikan. Dia sudah tidak peduli lagi dengan hidupnya yang sekarang. Keluarganya sudah hancur, dan makin hancur. Bocah itu tidak mengerti lagi apa yang Tuhan rencanakan untuk hidupnya nanti.

Kedua kaki lelahnya berhenti didepan halte bus yang kosong. Dihalte bus itu. Derasnya hujan, udara malam beserta hujan yang sangat dingin dan menusuk badan, bocah laki-laki itu tidak peduli dengan bibirnya yang kian membiru dan bergetar menahan dingin dan isakan sejak tadi. Ia hanya ingin menumpahkan segala emosinya saat ini.

Bocah laki-laki itu mengeluarkan semua tangisnya yang ia sudah pendam selama ini. Suara hujan yang deras menyamarkan suara tangisnya. Air hujan yang masih membasahi wajahnya menyamarkan air matanya. Dan itu bagus. Buat dia. Sesuai yang ia mau. Ini yang ia mau. Ingin meluapkan segala emosinya, dan butuh tempat untuk menumpahkan segalanya. Tanpa satu orang pun yang tau.

Wajah bocah laki-laki itu penuh dengan luka lebam, memar, merah, dan bahkan luka baru yang segar masih tertampak di wajahnya. Tapi bukan itu alasan bocah laki-laki itu menangis. Dari semua luka-lukanya, yang paling sakit adalah luka dihatinya. Dan apakah ada yang bisa menyembuhkan luka dihatinya itu?

Lama mengeluarkan segala emosinya, bocah laki-laki itu menatap langit dengan tatapan kosong. Air matanya masih berjatuhan membasahi wajahnya. Hujan deras juga belum reda. Bajunya yang masih agak basah sering kali terciprat oleh air hujan. Rasa sakit dan perih dari luka-lukanya yang terkena air hujan ia abaikan.

Bocah laki-laki itu bisa saja pulang sambil hujan-hujanan lagi. Tapi ia enggan. Ia masih butuh waktu untuk pulang ke rumahnya itu. Walaupun...ia tak pernah menganggap rumahnya sendiri itu...rumah. Tiap ia ingin pulang, rasanya berat untuk mengatakan kalo memang ia ingin 'pulang'. Rasanya ia ingin mengatakan kalo ia ingin 'pergi' ke...suatu tempat.

Karena tiap ia ingin pulang, rasanya dia bukan 'pulang'. Rumahnya itu, tidak bisa ia sebut dengan 'pulang'. Tapi dia paham, sang Mama pasti mengkhawatirkannya. Dan pastinya juga masih sayang dengannya. Tapi rasanya dia ingin pergi saja dari tempat itu. Jika tidak ada keharmonisan dari keluarganya, kenapa ia harus pulang?

Putra Gunawan. Itu namanya. Bocah laki-laki yang duduk dibangku kelas I SMP itu masih menatap langit yang terus menurunkan air hujan yang deras dan sepertinya tidak mau meredakan air hujan itu hanya untuk sedetik saja. Dan menurut bocah itu adalah hal yang bagus. Karena memang ia tidak mau pulang secepat itu. Atau mungkin lebih tepatnya, pergi ke tempat itu lagi.

Dia masih betah dihalte bus itu menikmati udara dingin malam dan hujan yang sangat menusuk badan. Tak peduli bibir keringnya membiru dan badannya bergetar kedinginan. Tak peduli juga luka-luka yang ada dibadannya yang mungkin sudah infeksi.

Mata kosongnya terus menurunkan air mata tiada henti. Putra...butuh seseorang atau sesuatu yang bisa membuatnya merasakan yang namanya rumah dan pulang.

"Putra kenapa nangis?"

Deg!

Suara cempreng itu. Suara gadis kecil yang selalu main dengannya. Putra kenal sekali dengan suara itu. Tapi ia enggan menoleh. Dia tidak mau teman kecil semasa TK-nya itu sampai sekarang mereka SMP, melihat air matanya yang selama ini ia tak pernah perlihatkan pada teman kecilnya itu.

PUTRA & PUTRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang