34. Tak Sepemikiran, Tapi Tetap Sejalan.
***
Baskara telah menampakkan dirinya. Langkah kaki seorang laki-laki terlihat tergesa-gesa, menuju salah satu ruang guru yang khusus, dimana ia sering kali bolak-balik ke sana, untuk mengurus segala perlombaan yang selama ini ia ikuti. Sesekali, cowok itu membenarkan letak tasnya yang tersampir di bahu. Sebelum benar-benar masuk ke dalam ruangan yang ia tuju, dia menarik napas dalam-dalam. Berusaha untuk mengingat rangkaian kalimat yang telah ia persiapkan dengan matang. Tangannya memilin ujung baju, lantaran gugup setengah mati. Bahkan, tanpa sadar, buliran bening meluncur dari dahinya. Jari-jari lentiknya mengetuk pintu, dan masuk ke dalam setelah dipersilahkan oleh seseorang yang ada di dalam ruangan tersebut. Cowok itu duduk dalam hening selama beberapa saat.
"Bu, maaf banget sebelumnya kalo ini mendadak dan berakhir saya buat Ibu kecewa. Tapi— Ehm, saya nggak bisa lanjut untuk ikut olimpiade sejarah," jelas Juandra dengan lugas. Meski sebagian hati kecilnya tak rela, namun kali ini ia tidak ingin egois.
"Lho, kenapa?"
"Ibu pasti tahu berita akhir-akhir ini soal keluarga saya. Saya cuma nggak mau, bikin sekolah ini kalah, karena saya yang kurang fokus. Lagipula, memberi kesempatan bagi murid lain, saya rasa tidak ada masalah." Guru yang berhadapan dengan Juandra hanya mengangguk mengerti.
"Sebenarnya Ibu sedikit kecewa dengan keputusan kamu yang mendadak, tapi, Ibu akan usahakan untuk mencari penggantinya. Kalau begitu, kamu boleh kembali ke kelas."
Juandra mengucapkan rasa terima kasihnya, lalu menyalimi tangan sang guru. Samar-samar, dia tersenyum, merasa lega ketika bebannya berkurang satu. Kini, ia hanya tinggal mencari alasan yang akan ia gunakan untuk menjelaskan pada kembarannya. Jerdian pasti akan mencecar dirinya dengan rentetan pertanyaan. Apalagi, kemarin jelas-jelas ia mengajak cowok itu untuk melakukan pembuktian lewat prestasi, tapi, kali ini malah dirinya yang mengundurkan diri dan merasa tidak mampu. Bukan tidak mampu sih, tapi, lebih ke merasa ragu.
Mengingat banyak biaya yang akan ia gunakan ketika pergi, Juandra jadi ragu untuk ikut. Meskipun biaya penginapan dan makan akan di tanggung pihak sekolah, tapi memang Juandra tak butuh jajan? Sebenarnya, dia sudah memikirkan hal ini sejak penangkapan sang ayah. Apalagi, di tambah keadaan sekarang, dimana dia dan Jerdian harus hidup sehemat mungkin.
"Woy, Ju." Merasa terpanggil, Juandra menoleh dan menemukan segerombolan Luthfi and the genk. Dia menghela napas kasar, merasa jika akar masalah akan timbul sebentar lagi. Juandra balik badan, hingga posisinya kini berhadapan dengan Luthfi. Netra keduanya saling melempar tatapan tajam.
"Lo mau apa?" celetuk Juandra to the point.
"Gue cuma mau kasih tahu. Nggak selamanya, temen lo itu beneran temen."
"Apaan sih? Nggak jelas lo! Nggak usah bertele-tele deh."
"Heh, Luhtfi udah peringatin, biar lo hati-hati," timpal salah satu cowok yang paling pendek di antara mereka. Tubuhnya sudah maju seolah ingin memberi pukulan, namun di tahan oleh sang ketua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Sisi (Selesai)
Dla nastolatkówJerdian dan Juandra, si kembar yang berlomba-lomba untuk menutupi lukanya masing-masing. Terlihat saling ingin menjatuhkan, padahal mereka saling sayang. Mereka hanya tak tau bagaimana caranya menunjukkan rasa sayang seperti orang pada umumnya. Mamp...