2J : Bab 2

5.4K 576 42
                                    

2. Semua mimpi Jerdian.

***

Sore ini orang-orang sudah heboh di tengah lapangan. Melihat Juandra yang terkapar tak berdaya dengan beberapa lebam di wajah dan lengannya. Jerdian yang baru keluar dari kelasnya, merasa penasaran melihat kerumunan di lapangan, ia langsung menerobos kerumunan itu dengan mudah karena tenaganya yang lumayan besar.

"Misi, misi. Permisi, sorry, gue mau lewat. Misi ya."

Deg. Jantungnya seperti berhenti tiba-tiba. Luka yang ada ditubuh Juandra seolah bisa ia rasakan juga. Dengan langkah seribu, ia menghampiri Juandra. Mengangkat kepala cowok itu yang sudah terlihat lemas. Seketika mata Jerdian berubah merah menyala. Tangannya mengepal kencang hingga urat-urat  nadinya tercetak jelas di tangan. Rahangnya mengeras seperti batu.

"Siapa yang berani bikin Juan begini?" Matanya ia edarkan ke segala arah, bagaikan elang yang mencari mangsa, melihat para murid yang masih setia berdiri sebagai penonton, tanpa ada minat membantu. Keadaan Juandra yang hampir sekarat, benar-benar membuat seorang Jerdian murka.

"Jer, gue nggak—"

"Lo diem, Ju! Gue ngga butuh lo buat ngomong."

Tak ada yang mengeluarkan suara meski sekecil suara jangkrik. Semua diam mematung, takut kalau-kalau ia malah salah bicara. Jerdian yang muak, langsung menggendong Juandra dan membawa cowok itu keluar dari lapangan sekolah. Ia melihat beberapa teman Juandra yang sedang memberhentikan taksi.

"Bro, gue udah berhentiin taksi buat Juan. Lo anter dia ke rumah sakit aja, urusan di sekolah sama rumah, biar gue sama temen-temen yang bantu," ucap salah satu teman Juandra, yang diketahui bernama Hardian.

Selama perjalanan, Jerdian hanya merapalkan doa agar kembarannya itu bisa disembuhkan. Mata elangnya tak bisa lepas dari Juandra. Selang beberapa menit akhirnya mereka sampai di sebuah rumah sakit terbaik di ibu kota.

Bau rumah sakit langsung menusuk indra penciuman Jerdian. Cowok dengan ciri khas rambutnya yang panjang itu hanya bisa menghela nafas kasar ketika kembarannya sudah dimasukkan kedalam ruang UGD.

Ia menunduk, mengetuk-ngetuk kakinya di lantai sambil berhitung. Ini satu-satunya cara yang sering Jerdian lakukan untuk meredam emosinya. Tiba-tiba, seorang laki-laki paruh baya yang tak lain dan tak bukan adalah ayahnya sendiri, datang menghampiri Jerdian.

"Gimana keadaan Juan?"

"Masih di tangani dokter."

"Kamu gimana sih? Jagain kembaran kamu sendiri aja nggak becus, tapi, giliran ribut-ribut nggak jelas, nomer satu." Jerdian tersentak kaget mendengar sang ayah yang tiba-tiba meninggikan suaranya. Apa ini? Jadi ayahnya menganggap jika semua ini kesalahan Jerdian? Lagi dan lagi, Jerdian hanya diam saja. Bukan karena membenarkan, dia hanya terlalu lelah untuk memperpanjang obrolannya dengan ayahnya itu. Toh, apapun yang nantinya Jerdian katakan, ucapan ayahnya akan selalu benar dimata Jemian —ayah Jerdian.

Keberadaan sang ayah sangat tidak membantu apapun. Jerdian malah semakin dibuat emosi dengan segala tuduhan-tuduhan yang tak berdasar itu. Cowok itu memilih untuk keluar dari rumah sakit. Menghirup udara segar, selain bau obag-obatan yang menyengat. Ya setidaknya menjernihkan pikirannya yang mulai sedikit berantakan.

Aneh rasanya, jika Jerdian tidak terlalu merasakan sedih saat melihat Juandra yang terbaring di rumah sakit. Kenapa akhir-akhir ini perasaannya sulit ditebak oleh dirinya sendiri ya. Saat sedang asik melamun, notifikasi di hp nya membuyarkan itu semua.

Selina

Jeje, lo di rs?

iya, sel

Dua Sisi (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang